Kenangan

4 1 0
                                    

     Ujian sedang berlangsung minggu ini dan aku jarang memainkan handphone. Aku dan Keenan masih bertukar pesan setiap harinya namun kita jarang bertemu.

    Aku pernah bertemu tidak sengaja dengannya di perpustakaan dia tersenyum padaku dan memberiku satu buku bacaan sejarah kemudian ia mengirim pesan singkat bahwa dia telah membaca tentang perang dunia dua lalu ia tertarik mencari tahu tentang Hitler, lalu dia menceritakan ini kepadaku.

     “Kemungkinan Eva Braun tahu kalau dia berada di akhir hayatnya tetapi ia tetap memutuskan menikah dengan Hitler, dan mereka menjadi sepasang suami istri hanya dalam satu hari semalam hingga akhirrnya mereka dikabarkan bunuh diri”.

    Keenan menelphoneku untuk melanjutkan kalimat sebelumnya.

     “Aku suka kisah itu, mereka tetap ingin bersama meskipun kenyataan akhirnya merenggut segalanya,  itu menyakitkan namun mereka tidak dibuntuti rasa kehilangan”.

    Lucu sekali bukan?, sampai sekarang aku kesulitan memahami cara dia memandang sesuatu.

    Aku juga pernah bertemu dengannya di koridor kelas saat jam pelajaran ketika itu aku sendirian sepulang dari kamar mandi dan dia juga begitu. Kami berjalan berhadapan dan ia menjabat tanganku sesaat sambil tersenyum simpul lalu tiba-tiba ia memanggil namaku pelan.

    “Jangan noleh, sebentar aja” Katanya saat aku hendak berbalik badan dan aku mengikuti perintahnya.

     “Nih” Keenan menyodorkan sepotong tanaman dedauan dan memintaku menyimpannya, aku tertawa heran dengan tingkahnya.

    “Aku terpaksa kasih ini, bunganya udah aku petik terus aku buang. Kalau aja dia gak ngintip senyum kamu waktu lihat aku mungkin aku udah buang semuanya.

     Kamu simpen batang daun itu, takutnya dia bilang-bilang” Aku melongo dengan yang dia katakan namun aku senang bukan main hingga pada akhirnya aku mengeringkan daun itu di tengah-tengah buku tebal.

    Dalam satu bulan yang telah berlalu itu Keenan melakukan hal-hal konyol yang selalu sukses membuat aku bahagia kegirangan.

***
Dua minggu kemudian

Badanku miring kesana dan kesini, perasaan rindu perlahan menghampiri. Libur sekolah terasa membosannkan, aku tidak bisa bertemu teman-teman sekolahku, mendengar pak Indra menceritakan Istrinya juga hal-hal menggemaskan yang anehnya baru kurasakan setelah kami akan lulus dari sekolah.

     Aku teringat terakhir mata pelajaran pak Indra di kelas. Hari itu dia memakai kemeja berwarna biru dan membawa tas ranselnya ke dalam kelas, tumben sekali padahal selama ini setiap masuk ke kelas dia hanya membawa satu buku, penghapus dan penggaris panjang yang bisa dilipat, meskipun mata pelajaran kami waktu itu Integral dia tak pernah ketinggalan dengan penggarisnya. Namun pada hari itu bukan penggaris panjang yang menjadi perhatian kami, melainkan kemeja lusuh beliau serta raut wajahnya yang terlihat sedang bersedih.

    “Bapak berantem sama istri bapak ya?” Suara Aldo membuka obrolan.

    Keanehan beliau semakin membingungankan kami, dia tidak menjawab hanya menatap nanar kearah kami biasanya kami juga sibuk menggali dan mencari tahu namun dipagi hari yang gerimis itu kami bahkan tidak berani menanyakan alasan dia bersedih.

    Sepanjang pelajaran Catherine batuk-batuk untuk menarik perhatian Pak Indra, kami mendukung sepenuh hati apapun yang akan dilakukan ratu drama tersohor dari kelas kami ini namun pak Indra tetap tidak menggubris hingga akhir pelajaran dia menjelaskan semuanya dengan datar.

     Sumpah itu membosan sekali.

    “Bapak bilang dong” Teriak Sisca.

    “Iya dong Pak, kemungkinan ini hari terakhir kami belajar bareng Bapak” lanjut Catherine dan kami sekelas mengiyakan dengan suara masing-masing.

    “Stop!” Pak Indra menyanggak wajahnya dengan tangan kirinya, itu membuat kami merasa bersalah karena memaksanya bercerita.

    “Terimakasih ya, hari ini bapak ulang tahun tapi kita palah berpisah” Ungkapnya, seketika kelas kehilangan suara.

   Aldo bertepuk tangan menyadarkan kami lalu kami semua mendadak mengikuti dan sibuk melepar senyum dan ucapan juga doa pada Pak Indra. Pak Indra tersenyum simpul lalu berdiri ketengah-tengah.

    “Selama setahun ini kalian sudah mendengar kisah hidup bapak, dari bapak yang akan menikah hingga bapak punya anak. Jadi bapak sedih kita harus berpisah, meskipun nanti bapak bertemu siswa baru lagi rasanya pasti berbeda, bapak sayang deh sama kalian”

    “WE LOVE U PAK”

    Lalu Viana dan Intan berdiri dan mengambil kue yang sudah kami siapakan tadi pagi. Pak Indra terkejut, ketika kami semua akhirnya berdiri dan berjalan menuju kepadanya, benar-benar moment terakhir yang mengharuhkan.

    Kenapa kita baru menyadari berharganya sesuatu ketika kita kehilangannya. Tetapi bagaimanapun kami akan merindukan moment bersama-sama kami, kami tidak punya alasan untuk bersedih, meskipun salah satu dari kami sering bertengakar terutama aku dan Cat tetapi kami tidak pernah berniat saling menyakiti, meskipun kadang-kadang kami saling menghina namun kami tidak pernah lupa hari ulang tahun anggota kelas kami jadi tidak ada alasan untuk bersedih, karena kami bukan kehilangan melainkan mencoba menyimpan semua itu menjadi kenangan manis.

***

Ini Kisah Tentang Cinta MonyetkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang