Seperti Selembar Daun

10 1 0
                                    

Daun-daun bergerak jatuh ke tanah seakan menyadarkan kita bahwa September selalu mejadi bulan pergantian. Kemarau bukan hanya mengeringkan tanah-tanah dan menghambat mata air, kesesakkan dalam diriku yang terjadi selama beberapa bulan terakhir ini terus menyurutkan air mataku.

Banyak hal yang terjadi tidak baik-baik saja, Mamah kembali kerumah namun dengan drama baru yang membuat sel-sel otakku terus kelelahan, aku kehilangan waktu tidur malamku, begadang menjadi hal lumrah akhir-akhir ini. biar aku beritahu orangtuaku berhenti bercakap-cakap, atau setidaknya saling menegur sapa hanya sesekali mereka berbicara kalau itu sudah sangat darurat, aku tidak tahu lagi kemana aku harus memihak.

Ini bukanlah hal sulit tetapi memang tidak akan pernah bisa hati kita benar-benar memihak kepada salah satu orang tua kita hanya karena kesalahpahaman yang sebetulnya mereka menyadari kesalahan masing-masing namun beberapa bulan terakhir ini mereka sungguh kehilangan daya untuk membahas hal-hal demikian, kalian tahu apa yang membuat tingkah mereka membuat aku sakit hati?.

Dari yang kudengar sekali ketika mereka mengakhiri pembicaraan 'Kita tetap satu atap hanya untuk anak kita' itu katanya.

Aku bangun dari kasurku karena suara Mamah yang terus menggema dan senandung suaranya terdengar marah. Aku yakin dia datang lagi, tetapi ini masih terlalu pagi bagi Mamah untuk mengusir Keenan dari halaman rumah.

Aku mengintip dari sela-sela tirai kamarku. Dia tidak menundukan kepala ataupun melakukan penghindaran ketika tangan Mamah menunjuk kearah jalan. Pagi ini nyaris aku tidak mendengar suara percakapan Mamah karena posisi mereka berada dihalaman depan rumah. Ini sudah ketujuh kalinya Keenan memasuki halaman rumahku tanpa pernah bisa masuk kedalam rumahku walaupun sekali, karena pintu selalu dijaga rapat oleh Mamah.

Mungkin ini terdengar konyol, sebenarnya aku malas menceritakan hal-hal sangat lebay seperti ini, namun sekali lagi kujelaskan aku kesal kepadanya dan ingin menumpahkan kekesalan ini.

Aku ingin didukung, aku ingin dipahami aku ingin dimengerti bahwa bukanlah kesalahan ketika wanita mendadak bodoh dan seolah lupa segalanya hanya karena rayuan laki-laki, bahkan ketika masing-masing dari kita menyadari bahwa dia itu brengsek. Jadi, jangan pernah menyalahkan wanita hanya kerena mereka bisa memutar arah hanya karena merasa dipanggil dengan bahasa sindirian cinta.

Entah apa yang terjadi dengan pola pikirku semenjak dia terus berdatangan kerumah seperti tukang sampah yang mengangkut samah-sampah dirumah.

Awalnya aku merasakan sakit yang luar biasa ketika pertama kutemukan dia mengobrol dengan Ayah di depan pintu, lalu diusir oleh Mamah karena hanya Mamah yang mengetahui apa yang pernah kualami karenanya. Dan kedatangan keduanya aku merasakan perasaan iba yang mendalam ketika melihat dia menunduk rapuh seperti tangkai padi yang berisi karena curhatan kekecewaan Mamah terhadapnya.

Kenapa ku ibaratankan padi, karena setelah itu dia tidak seperti mawar, layu, gugur dan jatuh melainkan ia menjadi percaya diri seolah perkataan Mamah padanya adalah bentuk dukungan agar dia bisa membetulkan apa yang telah dia rusak, dasar percaya diri sekali Keenan itu!. Dan setelah mengintip dari pertama, kedua,ketiga sampai keempat aku muak!.

Dia datang dengan nuansa berbeda, gaya cueknya telah diubahnya, ia seperti masuk kedalam boneka-boneka jenaka yang suka menghibur orang dijalanan, atau justru membuat ngeri anak-anak lalu tanpa maksud yang diinginkan ia buat sebagian anak-anak menangis ketakutan.

Aku jijik melihatnya semakin percaya diri, apa Keenan sungguh-sungguh lupa dengan sistem pendekatan dan permainannya yang berakhir mengasingkan aku di level pertama.

Apa tak dianggapnya suara serakku ketika kukatakan kepadanya ucapan selamat ulang tahun yang juga menyinggung langit lalu menjadikannya gelap gulita, aku penasaran apakah ditengah-tengah duka itu ia masih merasa menjadi rembulan yang masih bersinar didalam ruang hampa hatiku kala itu, jika benar begitu maka kumohon sadarlah rembulan kau bahkan hanya meminjam sinar mentari lewat pantulan sinarnya, kau bukan siapa-siapa lagi baginya setelah air surut malam itu.

Ini Kisah Tentang Cinta MonyetkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang