Chapter 2 - Tolong

119 17 41
                                    

2

Tolong

"Demian balik minggu depan. Aku butuh tameng." Sea menggaris helai rambutnya ke belakang telinga. Angin dan senja sore saat itu merubah tensi di antara mereka, dari dialog ringan roman picisan menjadi cuplikan permintaan tolong yang mengenaskan.

Ali menatapnya heran. "Setelah kita ngobrol panjang, lama nggak ketemu sejak kemarin, dan rencana jalan hari Minggu, kenapa ngobrolin ini?"

"Aku nggak ngajak kamu ngobrol berdua hanya untuk itu."

"Tameng untuk apa?" tanyanya, resah.

"Kejadian malam itu, ini masalah waktu sampai kepolisian tahu. Bahkan bisa jadi mereka sudah tahu tentang Tom. Memang bagus kalau Demi cepat selesai diinterogasi, tapi kita akan dipanggil berikutnya."

"Kamu lebih takut mereka tahu dibanding Papamu?" tanyanya spontan.

Ali melanjutkan lagi, "Kita nggak terlibat apa-apa." Pergelangan tangan kanan gadis itu segera ditangkap. "Saat pesta itu diadakan di rumah Demian, kita sedang lelah karena banyak tugas dan memutuskan pulang. Pestanya diadakan seminggu sebelum liburan. Tom mabuk, dia tidak tahu apa yang terjadi. Kita pulang terlambat jadi seterusnya dari malam pulang sampai liburan selesai, kamu diberi tugas oleh Papamu, aku mengerjakan PR liburan di kamar terus. Itu yang terjadi."

"Itu yang para orangtua bilang ke anak-anaknya, Ali." Sea melepas cekalannya. "Masalahnya, mereka punya video yang ... ah, mereka punya semuanya. Bu Nich nunjukin itu padaku."

Cowok itu menggeleng pelan. Dia menjatuhkan jaket hitam dari tangannya. Begitu kain jatuh ke lantai, Ali menggerakkan bibir dan berbisik pelan, "Kupastikan kita terus bertemu."

Itu jawaban ya paling panjang.

***

Saat interogasi itu, Bu Nich berubah tidak mengusik dan memberi amanat kaya moral begitu satu panggilan telepon menyatakan Papa Sea akan tiba tiga puluh menit lagi. Bisa jadi artikel-artikel ini hanya pancingan Bu Nich dan untungnya, Sea bertahan dengan tidak menjawab banyak pertanyaan menjebaknya. Syukurnya saat mentalnya goyah, Papa menelepon dan itu didengar semua orang di ruang interogasi konseling.

"Papa yang jemput. Nggak perlu ke kantor kepolisian, ortu Demian sudah bayar denda. Tidak ada masalah dengan keluarga Ali dan semua temanmu, karena ini reporter yang dibayar menjelekkan. Kamu tahu ini tahun penting buat Papa, Sayang, banyak yang ingin menjatuhkan."

"Pa, Ses minta maaf ngerepotin." Gadis itu menatap lurus ke arah Bu Nich.

"Papa yang harusnya minta maaf nyusahin kamu. Sudah begini resikonya, Ses. O, soal sekolah, tadi Papa sudah ketemu kepala yayasan. Ini masalah reporter bayaran, sudah clear."

Balik ke awal sekarang topik nasehatnya berubah menjadi kepribadian yang perlu diperbaiki anak muda dan kata-kata kotor yang harus dihilangkan dari kultur.

Sea mengangguk terus-menerus, kemudian menatap ke bingkai jendela dan meratapi langit-langit dan kerumunan burung ke utara. "Sesuai rencanamu, Ali. Kita kayaknya akan terus-terusan bertemu," batinnya, setengah mengantuk.

"Ini sudah setengah tujuh sore. Siap-siap dan ambil tasmu di kelas."

Gadis itu beranjak, dia meninggalkan ruangan dengan langkah gontai. Lorong sekolah sudah diterangi lampu-lampu koridor, lalu langkahnya terbirit menuju lift dan menekan tombol cepat. Begitu berhenti di lantai kelasnya, Sea menghembuskan napas pelan. Kelasnya ada di ujung lorong. Nah, di depan pintunya ada dua cowok yang bercengkrama dengan bermain Nintendo Switch berdua.

TolongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang