9
Kotak Pandora
Irene menghentikan langkah serta tatap ramah ketika membuka pintu, kemudian bertemu dengan gadis yang riasannya amat polos di ruang interogasi. Wanita itu berjalan pelan sambil mempertahankan kontak mata dengannya.
"Padahal wajahmu seperti manusia benar, tapi aku nggak menyangka hidupmu di SMP seperti kotak pandora."
Sea mendongak dan menutup, lalu membuka kelopak matanya perlahan. "Kotak pandora memang sepatutnya tidak dibuka."
"Ya, tapi aku harus melakukannya." Irene terkekeh. "Ada Victoria yang malang, harus aku selamatkan."
"Ibu bicaranya amat tidak formal," keluhnya sambil bersedekap lengan dan membanting tubuh ke punggung kursi.
Kertas di tangan Irene diremas perlahan, penyidik itu menahan emosi yang membuncah. "Dari footage CCTV yang baru didapat, bukti penyiksaan yang ada di tubuh Victoria, dan ... sialan kamu. Sialan sekali. Buku harian Victoria yang sarat rasa ingin pergi dari dunia dengan tanggal-tanggal kalian merundung, percobaan bunuh dirinya yang gagal ke sekian kali, dan riwayat masuk-keluar RSJ karena trauma. PTSD. Anak itu trauma berat dengan kamar mandi, rambut panjang cokelat berpin ungu magenta serta rambut bob hitam legam, dan ponselmu yang keji."
"Kamu dan Charlotte saat ini adalah tersangka," lanjutnya, "Sesilia, aku harus teliti apa lagi agar bisa menjadikan kalian pelaku segera? Ini baru seminggu, bukti yang kudapat sudah sebanyak ini. Mengapa dulu tak terusut?"
Sea mengedikkan bahu, gadis itu menghela napas pelan. "Ibu tanya saja pada guru-guru saya di SMP. Saya sudah lupa juga karena kami hanya bercanda waktu itu."
"Aku nggak yakin ini hanya bercanda, Sesilia." Irene memberi foto seorang gadis yang terkulai lemas di dinding kamar mandi. Itu foto gadis muda berambut cokelat-pirang dengan muka lebam dan seragam SMP Hachvon lusuh yang terbaring bersandar setengah di dinding kamar mandi--di sana masih ada alat pel yang terlihat memblokir pintu--dan Sea ingat, itu jepretan fotonya.
"Ibu--" Sea berhenti dan segera berpikir. Nggak, jangan pernah bertanya dari mana dia dapat fotonya. Aku pasti dikira benar melakukannya dan mencari-cari celah. Jangan. "Kenapa saya hari ini tidak boleh didampingi pengacara?"
"Hari ini aku hanya kepengin ketemu dan melihat langsung pelaku dari tingkah keji yang kamu lakukan. Dua minggu berlalu sejak aku hubungi yayasan dan orangtuamu, omong-omong, skorsmu seminggu kemarin bagaimana? Kamu sedang cuti juga, ya? Cuti apa itu?"
Sea menggerakkan bibir manyun. "Yah, terserah Ibu. Iya, saya lagi cuti mulai hari ini karena penyelidikan. Kalau di Yayasan Hachvon namanya cuti kepentingan di luar sekolah atas pengetahuan orangtua."
"Wah, aku kayak mendengar buku peraturan berbicara!"
"Saya sering mendengar itu."
"Kalau suaramu saat mengejek dan menghina Victoria, apa kamu juga sering dengar?"
Gadis itu segera melengos dan mengernyitkan kening sambil melihat pancaran sinar matahari dari jendela dengan keki. Sea harus bersabar dan menunggu pengacaranya datang. Harus sabar. Harus ....
"Saya tidak melakukannya."
"Hukumanmu akan lebih berat kalau berbohong, Anak Cantik," kekeh Irene kemudian. Wanita itu tersenyum dan memajukan badan ke depan dengan menyangga dagu penasaran. "Anak Cantik, Victoria Kerdil. Kemenangan semu. Cewek jelek, cewek hina, anak pungut."
"Stop." Sea menarik napas pelan usai mengatakannya. "Saya tidak punya tanggapan apa-apa. Memprovokasi seharusnya punya batasan memulai dan mengakhiri. Kepolisian dan penyidik seperti Ibu harus tahu batasannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong
Teen FictionDemi masa depan yang baik, Sesilia harus menghilangkan keterlibatan yang tidak disengaja dalam dunia Demian yang melanggar etika dan hukum. Sayangnya, perjalanan Sesilia dan teman-temannya yang bernasib sama dikelilingi orang-orang jujur (yang entah...