Barisan mobil-mobil hitam yang mengelilingi halaman seolah memusatkan Porsche kuning yang baru datang, berada di tepat pekarangan depan kediaman Alanta, untuk menampilkan aura tak mengenakkan. Para pengemudi antara Mercedes-Benz, Audi, dan BMW itu berkumpul di gazebo depan bersama dua satpam. Mereka, para sopir, menyesap secangkir kopi dan macam-macam roti yang disediakan di meja taman samping kanan-kiri rumah.
Sementara itu para tuan dan nyonya berada dalam makan malam di dalam kediaman yang nyaman. Bersemayam, nampaknya, sejak pukul tiga sore. Saat ini bulan sedang tinggi-tingginya diberi bualan oleh bintang-bintang. Terbayang sedemikian lamanya para sopir malang menunggu para tuan dan nyonya.
Pria yang bosan dalam Porsche itu keluar, kemudian mengetuk pintu. Pelayan yang telah menunggu sekian jam suntuk segera menjamu sang Tuan sendiri dan tak melewati ruang para tamu.
"Selamat datang, Tuan Matthew."
"Matthew saja." Pria itu mengangguk dengan senyum tipis. "Mana Sesi?"
"Nona sedang istirahat di kamar."
"Istirahat atau tak dibolehkan ketemu denganku, West?"
"Tuan memerintah saya untuk menjamu Tuan Matthew sendiri."
West, kepala pelayan, membukakan pintu kamar Matthew sambil mengangguk hormat. "Silakan, Tuan. Maaf, Nona tidak bisa diganggu."
"Dia adikku, keluargaku," Matthew mengernyitkan kening tanpa bangkit dari kursi yang baru didudukinya, "panggil Sesilia kemari."
"Tuan Edward menginginkan Nona Sesilia istirahat. Besok hari sekolah, Tuan," sang pelayan memberi anggukan hormat sebelum pergi, "maaf, saya tidak bisa melakukan apa-apa."
Matthew menghela napas, dia menarik pandangan mata menuju langit-langit kamar, lalu menunduk, melihat segala hidangan yang nampaknya sama persis dengan yang dijamu di ruangan.
"Ya. Keluar."
Sang pelayan membungkukkan punggung perlahan, kemudian bergegas menutup pintu dengan hati-hati dan nyaris tidak bersuara. Sementara itu, denting gelas di ruang pertemuan membuat Matthew memicingkan mata.
"Ck. Mau nyogok aja pakai pesta-pestaan." Matthew bangkit, dia menanggalkan mantel cokelat muda ke punggung kursi dan melepas pantofel. Menyisakan kemeja krem dan celana marun dengan dasi yang senada.
"Ses!" panggil Matthew lantang sesaat telah memastikan West tak berada di radar kamarnya. "Kakak pulang."
Seketika gorden berwarna emas di antara hitam legam itu tersibak, memunculkan rambut cokelat yang mirip dengan milik Matthew. Sea muncul dengan menginjakkan kaki ke lantai kamar sambil menenteng sepatu hak berwarna marun. Gadis itu datang dari kamarnya, melewati jendela antar ruangan berbingkai hitam dan ditutup gorden di dua sisi kamar.
"Lah, samaan!" seru Sea sambil menampilkan seisi gigi di muka.
"Kok bisa anak yang dibenci seisi Terals, senyum lebar kayak gitu. Nggak malu, kamu?"
Gadis itu terkekeh pelan. "Udah habis malu-nya. Namaku udah dua kali kesebar ke seluruh Terals. Nasib."
"Kasihan. Anyways, apa yang mau kamu ceritakan, Dik?" seru Matthew, kembali ke tujuan awal mereka–menemukan cara selain diam dan membohongi detektif kelas kakap. "Pekerjaanku menunggu di rumah."
"Kakak hanya jadi dosen di universitas nggak bernama, sepertinya nggak sibuk."
"Biar nggak bernama begitu, aku punya nama di penelitian-penelitian yang belum pernah dilakukan." Matthew menarik dua sudut bibir ringan. "Gimana kabarmu?"
"Setengah baik. Aku nggak ada teman sekarang."
Matthew menarik kursi di sebelahnya, kemudian menuntun gadis itu masuk untuk makan bersama. "Ya, dong. Kalau kamu masih punya teman, pasti temanmu nggak beres. Video pukul dan jambak-jambakan itu keren, tembus dua juta views."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong
Teen FictionDemi masa depan yang baik, Sesilia harus menghilangkan keterlibatan yang tidak disengaja dalam dunia Demian yang melanggar etika dan hukum. Sayangnya, perjalanan Sesilia dan teman-temannya yang bernasib sama dikelilingi orang-orang jujur (yang entah...