Chapter 3 - Tutup Mulut

78 15 25
                                    

3

Tutup Mulut

"Ini rumahnya?" Sea mengernyitkan kening. "Kok rumahnya menyusut?"

Cowok itu mengedikkan bahu. "Renovasi mereka memang nggak masuk di pikiranku, tapi bodo amat! Itu uang mereka."

"Ayo masuk." Sekejap Ali melangkahkan kaki, Sea menangkap pergelangan tangannya.

"Kita bakal ngomong apa sama dia?"

"Ya, tanya-tanya kabar. Apa sudah masuk sekolah besok, lagi sakit, atau apalah."

"Setelah dia bikin aku di kantor Bu Nich empat jam? Dia, kan, memang wajar di-skors! Maksudku, kamu mau aku ngomong apa sama dia?"

"Maafin dia, memangnya nggak bisa?" Ali menghembuskan napas berat. "Aku punya rencana bagus. Kejadian malam itu bisa nggak ada di benak siapa pun, kalau kita semua bisa tutup mulut. Semua di luar kita juga harus tutup mulut, kita harus mengusahakan itu."

Dentingan bel pintu berbunyi. Seorang pelayan keluar, menyeru pelan, "Mas, Non. Silakan masuk ke dalam. Mas memberi izin."

***

Hal-hal semacam ini tidak perlu dipikirkan orang-orang normal. Naas saja Sea dan Ali sudah dilahirkan untuk mempunyai biasa yang berbeda. Benar memang, punya banyak uang menyelesaikan banyak kesusahan. Namun, orang-orang tidak pernah memberitahu mereka bahwa ada rasa yang harus dibayar. Salah satunya adalah tabur tuai dari dosa—sekecil apa pun—orangtua di masa lalu.

Dosa itu berpengaruh pada tiap sudut hati Sea. Kali ini situasinya memburuk, dia harus memilih perintah Papa untuk menjauhi Demian atau berteman dengannya dan menyelesaikan masalah mereka sendiri.

"Aku minta maaf." Itu kalimat yang Demian ucapkan saat enam mata mereka bertemu. "Aku lagi diskors, seperti yang bisa dilihat. Tidak boleh pegang ponsel, jadi maafku kali ini tu—."

Ali menyela, "Kata 'maaf' saja nggak menghapus apa yang terjadi di malam itu. Papaku cuma menutup mulut semua reporter dan penulis artikel. Aku nggak bisa bayar Tuhan untuk bikin Tom lupa ingatan dan mau membela kita."

"Ya. Aku ngerti. Papaku cuma beresin denda dan bersihin nama. Kita memang perlu pencegahan, sebelum berita ini lebih tersebar." Demian menunjuk sofa di samping nakasnya. "Duduk situ. Sudah lama aku nggak dijenguk."

Kekehan Ali memenuhi ruangan. "Memangnya kamu sakit apa?"

"Sekarang nggak penting." Demian menggelengkan kepala. Dia menyenderkan punggung ke headboard kasur. "Kita harus bikin cara biar malam itu, semua kejadian akal-akalan kakakku sialan itu, kita bawa sampai ke kuburan. Bahkan anak, kalau ada, nanti nggak bakalan tahu."

Ali tersenyum simpul, matanya sedikit tersentak. "Karena ada nama baik, aku baru tahu kamu seniat ini."

"Reputasi itu penting," seru Sea ketus. "Nggak lucu kalau aku harus mendekam di penjara gara-gara nggak sengaja lihat surga buatan Kakak-kakak Dem. Kita semua menyesal, kan, Ali."

Demian mengerjap. "Ses, jangan mojokin. Aku udah bilang jangan buka ruangan itu, tapi kalian kekeh masuk. Sebetulnya aku tidak perlu minta maaf, lo."

"Semua terlanjur, jadi bubur dan hilang, hancur, habis," sela Ali sebelum Sea menyulut. "Ayo mulai dari website privat Hachvon. Entah apa groupchat kita bisa dihapus."

Sea menatapnya dalam. "Mau diretas? Kita bukannya tidak punya Jim! Dia bisa buat sis—"

"Useless. Ayo gaet dua anak OSIS yang jadi admin di sana, lalu suapi mereka sedikit. Kalau mereka mau, kita kabulkan satu permintaan mereka." Demian menatap langit-langit kamarnya. Badannya yang tegap kini lusuh, tatapan matanya mengalun sayu. "Cuma ini yang terlintas di benakku. Pikiran yang sudah amburadul."

"Si Jim itu pantas saja tidak mau ikut. Aku tidak tahu ngurus hal seringan ini bisa jadi ribet." Ali menghela napas pelan. "Jelasnya, kita sama-sama tidak punya solusi kalau hanya bertiga."

"Kamu mau mengajak siapa lagi?" tanya Sea setelah menghela napas.

"Orang yang terlibat langsung dengan Tom, selain kita bertiga."

***

Apes. Siang ini Sea terlambat masuk ke kelas berikutnya karena kelayapan setelah dipanggil Pak Welf untuk rapat singkat para wakil sekolah di olimpiade. Itu menghabiskan waktu dua jam, sebab ceramah dan nasehat kerja kerasnya tidak terbantahkan. Anak-anak yang dipilih itu dimarahi habis-habisan; peringkat sekolah mereka turun lima dari top ten, kebanyakan disebabkan kemalasan ikut pelatihan. Maka dari itu, sepersekian dari sekian wakil yang malas-malasan dikumpulkan pada hari ini, dan Sea termasuk salah satunya. Antara malas atau betulan sibuk, tidak ada yang bisa menebak alasan-alasan mereka bolos kelas.

Sebetulnya juga, dia diberi surat dispensasi sampai jam ke tujuh berakhir dan tidak akan telat di awal jam ke delapan. Sayangnya Demian yang minta mereka berkumpul sebentar, mengacaukan pengaturan sekolah. Perjalanan menembus pagar perbatasan SMP dan SMA saja membutuhkan waktu lima menit.

Sea berjalan dongkol, raut wajahnya beringsut mengajak ribut semua semut di jalan. Ketika langkahnya mendekat ke keset welcome di bibir pintu, gadis itu menghembuskan seluruh napas kesal. Dia menatap pintu, lalu mengetuknya. Kenop ditarik, pintu itu tidak lama menampakkan dirinya.

"Selamat siang. Maaf terlambat, Miss." Sea mendekat, memberinya surat selesai dispensasi.

"Ini sampai jam ke-tujuh. Kenapa baru datang waktu pelajaran saya tinggal lima menit?" Bu Kay menatap, memberi senyum simpul. "Sea, saya tahu kamu juara unggulan kita di bidang biologi. Saya tahu sekali kamu sudah dapat golden ticket ke prodi pendidikan dokter di univ ternama kota, tapi saya tidak tahu kalau kamu suka korupsi waktu."

"Murni kelalaian saya, Bu," cicit Sea seraya menundukkan kepala. "Tidak akan saya ulangi."

Bu Kay melengos. "Duduk."

Jim segera menoleh, dia keheranan. "Hei, kantin dari kiri. Kenapa kamu datang dari lorong kanan?" bisiknya.

"Kamu harus les baca notif."

Anak itu beralih membalik layar ponselnya dari meja. 

TolongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang