Chapter 4 - Perencanaan

73 13 39
                                    

"Ah. Maaf tidak ikut kumpul." Jim membalik lagi layar ponselnya.

Cowok itu menghela napas panjang. "Bukan salahku juga kalau dia didropout. Siapa yang mau menolong perundung?" bisiknya.

Sea mengangguk. "Ya. Tidak ada."

"Saya baru dikabari, mapel berikutnya belajar mandiri. Bisa pulang. Makasih. Selamat siang."

"Siang, Miss!" Kelas menyoraki Miss Kay keluar. Jim menatap Sea, mereka memiliki satu utas benang di pikiran. Bersambungan. Ini momen pas untuk diskusi.

"Mau kumpul lagi, tapi Demian habis ini sudah ke kantor kepolisian metro. Parahnya, Demian bilang tadi, dia akan menerima apa pun keputusannya. Terus, proses hukumnya akan dimulai." Sea menggelengkan kepala, menunjukkan surat yang diberi Demian saat berkumpul. "Itu resmi. Fotokopi surat panggilan, kita diberi buat kenang-kenangan. Dia tamat dengan kakak-kakaknya."

"Alah, omong kosong. Tamat apanya?" Jim terkekeh, dia membuka surat itu dan menunjukkan baris kalimat ke hadapan Sea. "Dia masih dan akan hanya jadi saksi, kalau dia nurut. Kamu kira, Papanya jadi laundry spesial itu karena dia punya jiwa sosial tinggi? Nggak. Keluarga Demian pintar, licik bahkan. Tak mungkin akan terjebak ke dalam, Ses. Kalau kena, paling juga beberapa bulan, lalu karena perubahan sikap menjadi amat terpuji, jadi baik melebihi malaikat, dibebaskan bersyarat. Yah, tebakanku juga Papanya tidak segan bayar denda, jadi kamu nggak usah mikir dia. Urus saja kita yang rentan, muncul di video."

"Ya, aku memang tidak percaya Demian bahkan sampai saat ini, tapi katamu dan Ali, dia bisa membantu? Harusnya itu meringankan kita, kalau kata kalian berdua–"

Jim meraih tangan Sea dan segera menyeret keluar. Seisi kelas bergeming saat mereka memulai pembicaraan; itu adalah momen juicy untuk mencari bahan rekaan ke ruang publik. Kali ini satu-satunya ketakutan Sea dan Jim adalah kasus mereka terbongkar ke media sosial (bukan hanya kabar burung, tapi ada bukti kebenaran).

Sea melepas cengkeraman Jim. Gadis itu menepuk pundak Jim yang tegang. Dia menenangkan, "Hei, nggak apa. Kita aman sekarang, Jimmy."

"Makasih." Jim melepas beban, punggungnya dia jatuhkan ke tembok belakang gedung kelas sembilan, mereka berlari 200 meter sampai ke persembunyian ini.

"Ah, menyambung yang tadi, Ses," lanjutnya.

"Kalau katamu Demian bisa membantu, mengapa sekarang kamu mengungkap yang jelek-jelek darinya?"

"Bukan jelek, tapi kenyataan. Kupikir dia akan menurut seperti dua kakaknya. Waktu SMA dan kuliah, mereka berdua melakukan hal yang lebih buruk dari sekarang. Semua pihak dilibatkan, interpol saja hampir turun tangan karena mereka melibatkan imigran serta warga negara asing, membuat geger, juga Papaku yang apes-apesnya tiga tahun baru menjabat jadi satpam dunia maya Terals. Keluargaku dari SD sampai tahun pertama SMP kena teror karena Papaku sok idealis menyingkap tabir keluarga mereka."

Sea menegak ludah pelik. "Kasus itu selesai dan Papamu dengan Ayah Demian malah dekat sekarang?"

"Betul. Bilang atau tidak bilang, kami berkaitan. Papaku orang yang banyak berdosa, apalagi berdusta. Makanya, sekarang dosa itu menurun padaku. Suka tak suka, itu cara bodoh Papaku buat cari uang. Sayang sekali dunia ini semua cara untuk dapat uang lebih dan lebih banyak bakal bodoh di mata keadilan dan kejujuran." Senyum tak ikhlas itu terlukis di bibirnya. "Tak sesuai perkiraanku, Demian malah jadi pahlawan kesiangan. Kayak katamu, dia malah mau jujur dan terima keadaan. Bodoh. Dia tidak tahu saja Tom koma dan tak bangun di rumah sakit, koma satu bulan. Kasus yang melibatkan Demian ini akan susah ditutupi, kalau Demian tidak menurut ayahnya."

TolongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang