Chapter 8 - Terbangunnya Kenyataan

41 8 25
                                    

8

Terbangunnya Kenyataan

Sea baru saja tiba dan membuka pintu ruang kepala sekolah. Tiga guru dan seorang pria dengan tubuh atletis berbalut jas biru gelap bercelana senada telah menunggunya di sofa ruangan. Gadis itu memberi sapaan dengan mengangguk. 

"Selamat siang, Pak." Sea mengambil sofa yang berada di paling dekat pintu. 

"Namamu Sesilia Edward Alanta?" Si pria bertanya sambil membalik kertas yang dipegangnya. "Saya rasa ini bukan pertama kali bagimu dipanggil begini."

Gadis itu mengangguk. "Benar. Tidak ada yang bisa saya jawab untuk kalimat Bapak yang kedua."

Mereka berempat segera melirik anak itu takjub. Pernyataan yang biasa diucapkan para politikus Terals di ruang sidang resmi dengan tuntutan tiga buku yang masing-masing tebalnya 10 cm itu dilontarkan gadis nyaris putih pucat dan nampak terbang kalau diserang angin ini.

"Baiklah. Sesilia, saya Andreas, Pengawas Satu di Kementerian Perlindungan Ibu dan Anak Terals. Saya perlu pertegas ini di awal." Pak Andreas berdeham. "Kamu sudah tujuh belas tahun, tapi batas usia agar ditentukan dewasa di negara kita adalah sembilan belas. Kamu masih di bawah umur, susah untuk memberimu hukuman."

Pak Kepala Sekolah menghentikan, "Sudah."

"Nak Sesilia," Pak Kepala Sekolah melanjutkan, "Hachvon menerima kamu karena kami ingin merealisasikan visi-misi Yayasan Hachvon. Kami akan membimbing semua anak-anak yang dipercayakan oleh para orangtuanya. Di sini, jika kamu bingung, sekolah sejak minggu lalu sudah dihubungi kepolisian atas kasus perundungan yang pernah kamu lakukan di kelas delapan. Saya selaku wakil ketua yayasan amat ingat kejadian waktu itu dan kami setuju untuk bekerja sama dengan kepolisian kali ini. Kami berharap besar untuk kejujuranmu, Nak."

"Oh. Jullie sialan. Cewek itu beneran mengungkit bercandaanku yang nggak bercanda itu." Batin Sea sudah penuh dengan kemarahan, bahkan lebih merutuk dengan berbagai makian tak pantas. Gadis itu memberi anggukan pada penjelasan pria dengan sudut mata teduh yang dikelilingi keriput dengan khidmat. 

"Saking lembutnya, aku bisa tertidur," Sea membatin kurang ajar lagi. Gadis itu menganggukkan kepala untuk ke sekian kali dan ... sebentar. Sea mengerjap dan membelalak setengah. Gadis itu melihat Pak Andreas dan bertanya, "Mengapa ... tiba-tiba sekarang dibuka lagi?"

"Orangtuamu tak menceritakannya, Sea?" Pria di samping Pak Kepala memiringkan kepala heran. "Sehari sebelum saya, Humas SMA kita, dihubungi itu bukannya kepolisian sudah menginfokan orangtuamu? Apakah sedang dinas luar negeri?"

Sea menggeleng pelan. "Saya terkejut karena itu sudah selesai empat tahun--"

"Belum selesai," tukas Pak Andreas. "Korbanmu yang malang sedang dirawat di bangsal kejiwaan. Jika kepolisian bisa membuktikan kamu pelakunya, keadilan akan bangkit."

Pak Kepala Sekolah memberi tanda berhenti dengan menunjukkan telapak tangannya. "Nak Andreas, jangan begitu. Kita sudah tahu ini pernah selesai. Ketahui batasanmu, anak di depanmu ini adalah siswi kami."

"Siswi Bapak juga merupakan tersangka di kasus yang sedang kepolisian tangani." Tatapan Pak Andreas beralih menatap Sea. "Bukti awal baru ditemukan atas laporan keluarga korban dan semuanya mengarah kepada dia, Sesilia Edward Alanta. Siswi Bapak adalah tersangka kami bersama seorang temannya. Kami tidak akan melepas dia kali ini. Anak yang kemarin sempat menghebohkan dunia maya karena diam melihat saksi dirundung sampai jadi koma ini, kami rasa pantas mendapatkan hal yang setimpal. Penjara dengan waktu yang cukup, meski tak akan pernah menyembuhkan tahun-tahun korban."

"Saksi? Apakah Tom sudah bangun dari koma, Pak?" tanya Sea keheranan. Gadis itu tak punya pijakan untuk berdiri sendiri.

Pak Andreas mengiakan, lalu dia memberi kertas yang disatukan klip hitam itu kepada Sea. "Titip salam untuk pengacaramu kali ini, tapi kami akan menang."

TolongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang