40. Butuh waktu

1.6K 105 0
                                    

Don't be worry, Raf

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Don't be worry, Raf. I know that you've reason why you act like that.

***

"Selamat malam Bibi!" sapa Marshel dengan ceria pada Bi Inah yang tengah menyapu ruang makan.

"Malam, ih Den Marshel jarang keliatan sekarang. Makin kasep aja," puji Bi Inah membuat Marshel tersipu malu. Malu maluin lebih tepatnya.

"Dih, najong bener. Jangan di puji Bi, liat tuh mulai berubah jadi reog," cetus Aska menunjuk Marshel yang memang bergerak kesembarang arah karna pujian tadi.

"Ko kalo iri bilang, bah. Nanti sa telpon Jessi suruh puji ko sampe babusa da pu mulut." Marshel berlagak angkuh

"AWAS AJA LO BERANI TELPON TELPON PACAR GUE YA. HABIS GIGI LO GUE RONTOKIN!" Ketus Aska emosi.

"Lo berdua kalau mau berante di baseman deh, ada ruang workout gue disana. Pecah semua barang barang dapur karna suara lo pada," tegur Rafa akhirnya membuat dua sobat karib itu berhenti gaduh.

"Bi, Rafa sama temen temen ke atasnya. Malam ini gak kemana mana, bibi gak usah khawatir," lanjut Rafa pada Bi Inah.

"Iya, Den. Mau dibawain makan sama minum apa teman temannya?" tawar Bi Inah hampir membuat Marshel dengan semangat menjawabnya jika saja tidak segera dipotong Baim.

"Gak usah bi, nanti kita turun sendiri aja. Makasih ya, Bi." Baim melirik Marshel seakan menegur dengan tatapannya.

Usai dari sana, kini tibalah mereka di kamar Rafa. Kamar ini bisa dibilang sangat jarang kotor apalagi berantakan. Mengingat Rafa yang menghabiskan waktunya hampir 24 am diluar, tentu menutup kemungkinan tempat ini akan kotor

"Jadi, sebenarnya nih ada apa?" tanya Marshel memasuki mode serius.

"Gue semalam bertengkar sama Ardhil." Jawaban Rafa membuat mereka bertiga sedikit tersentak kaget. Karna sejak SMP, justru Ardhil dan Rafa yang paling dekat dan paling lama berteman.

"Cerita dari awal coba," pinta Baim tetap tenang. Belajar dari Rafa, Baim tidak ingin gegabah menilai sesuatu.

Rafa mulai bercertia. Tentang bagaimana awal dia memberi taruhan pada Vicobra, dirinya dan Azel setelah itu, Nara yang jujur padanya hingga berakhir pada Ardhil yang salah mengartikan. Dari penuturan Rafa sudah terbaca jelas betapa rumpangnya isi kepala pria itu. Yang mereka yakini selain cerita Rafa adalah, temannya ini masih mempunyai segudang masalah lain yang tak dia ceritakan.

Bagi Baim, Rafa itu panutannya. Ia bisa mengimbangi kewajibannya sebagai umat muslim, ketua, anak dan penerus perusahaan.

Bagi Marshel, Rafa itu tiangnya. Karna sikap Rafa yang tetap kuat berdiri meski dihadapi banyak masalah membuat Marshel ikut kuat di tengah rasa rindu pada kedua orang tuanya melanda.

RafaelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang