6. Untuk Ayah

144 103 456
                                    

Bersabarlah
Karena Allah akan menumbuhkan bunga di hatimu yang sedang terluka

•••

"Baik, karena besok adalah 'Hari Ayah', jadi kita akan mengadakan beberapa acara, salah satunya adalah pembacaan puisi di hadapan ayah kalian. " ucap Pak Sirka melalui speaker sekolah.

Sedangkan Zahra dan para crecoknya saling memandang, memandang dengan tatapan tidak suka. Mata mereka mereka memancarkan sesuatu yang terlihat tidak baik.

"Ayolah, sejak kapan sekolah kita peduli dengan acara seperti ini? Heh, Habib ngapain osis ngadain acara kayak gini? Nggak mutu tau! " ucap Zahra depresi sambil mengacak hijabnya.

"Mana gue tau, udah dua hari nggak ada rapat osis! " elak Habib mencari pembelaan.

"Tau gih, ayah gue aja di mana gue nggak tau. " timpal Keyla pasrah.

"Lah ayah gue juga udah pergi jauh." sahut Naufal.

"Lagian kalian pikir gue juga tahu ayah gue ada dimana? " timpal Habib sambil memijat ujung hidungnya.

Sekarang mereka tengah sibuk membicarakan ayah masing-masing. Seolah perkara 'ayah' adalah problem mereka saat ini.

"Ayah gue ada, satu atap pula. Tapi kita jauh, jauh banget! " sambung Zahra, "Cih, apa masih pantas dia dibilang ayah? Sedangkan dia sendiri tidak pernah anggap gue anaknya." sambung gadis berhijab itu.

"Kalian gimana? Bakal ajak ayah tiri kalian nggak? " tanya Habib kepada Naufal dan Abidzar.

"Cih, ya kali dia mau! " balas Abidzar.

"Gue juga nggak tau, soalnya setelah dia pindah keyakinan gue sama mbak Shiren jarang kontakan sama dia! " jelas Naufal.

Para crecok masih sibuk berdiskusi di sudut kelas, mereka duduk tanpa alas di atas lantai dengan membentuk sebuah lingkaran seperti sedang rapat paripurna. Dan siswa lain sibuk berkeliaran ke sana kemari seperti orang tidak punya pekerjaan. Salah satu dari mereka ada yang menampilkan nyanyian dengan suara yang teramat cempreng, membuat suasana kelas begitu terlihat amatir. Bahkan ada juga sebagian bapak-bapak siswa di kelas ini tengah asik melakukan ritual ghibah, terlihat dari bibir manis mereka yang melentik indah.

"Nggak bisa gini, kita harus gimana dong? " ucap Zahra panik.

"Santai, kalau bokap lo nggak bisa ikut ya udah nggak usah jadi beban dipikiran lo, Ra. Nanti lo cepat tuanya! " ucap Naufal menenangkan gadis itu.

"Nggak papa gue pengen tua! " balas Zahra ngengas.

"Ya udah gue juga ikut menua bersama lo! " ucap Naufal enteng.

Tiba-tiba sebuah buku melayang ke depan wajah Naufal, dan pelakunya tentu saja Zahra. Buku itu didapatkan dari Sinta yang baru saja lewat di samping mereka.

"Lo psikopat juga ternyata." ucap Naufal mengambil buku yang mendarat di wajahnya tadi.

"Gue cuma lempar buku doang, bukan tiang listrik." jelas Zahra dengan tegas.

"Tetap aja kekerasan! " balas Naufal ikut ngegas.

"Lah kok ngegas? "

"Elu yang mulai desu! "

Ruang Kosong (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang