"Hei, kumohon bangunlah!" teriak gadis itu dengan isak tangisnya dengan laki-laki yang telah sekarat di pangkuannya.
"Kau... hikss... kau bilang akan menemaniku hingga akhir hikss... dimana janjimu itu?!"
"Ma...af..." ucap laki-laki itu tersenyum lemah sambil mengelus pipi dan mengusap airmata gadis itu dengan tangannya yang bersimbah darah.
"Tidak! Tidak! Kumohon jangan tinggalkan aku!" gadis itu masih setia dengan tangisnya. Ia benar-benar tak rela jika laki-laki itu pergi dari sisinya.
"Jangan tinggalkan aku... hikss... Kumohon...."
Tangan laki-laki tersebut yang berada dipipi gadis itu kini terjatuh, kini tak ada lagi tenaga didalam tubuhnya, matanya pun terpejam.
Gadis itu tercengang, ia mengguncang tubuh laki-laki itu dengan kuat berharap laki-laki itu akan bangun.
Tapi ternyata, laki-laki itu tetap diam. Tak menunjukkan reaksi apapun.
"Hei, hei, hei, kenapa kau tak bangun?! Hikss jawab aku!!"
Gadis itu menangis meraung-raung. Ia tak bisa hidup seperti ini, jika laki-laki yang ia cintai sepenuh hati— tidak sepenuh jiwanya kini meninggalkannya.
Dengan air mata yang bercampur dengan darah di pipinya, ia mengambil senjata kesayangannya yang terletak disampingnya.
Ia meraih senjata itu, kemudian mengayunkannya keatas, lalu menusuk dirinya sendiri dengan senjata itu.
Darah bercucuran dimana-mana, kini gadis itu mulai ambruk disebelah laki-laki itu.
Dengan kata-kata terakhirnya. "Aku akan selalu mengikutimu, kemanapun kau berada."
Dan sampai akhirnya, kelopak matanya pun terpejam.
Menyusul orang yang telah meninggalkannya tanpa pamit.
"Aku harap, aku berkesempatan untuk menemui lagi di kehidupanku selanjutnya...."
.
.
.
."!"
Ruby terkesiap dari tidurnya hingga ia langsung terduduk di atas ranjang empuk. Kepalanya pusing, dan peluhnya meluncur deras dari pelipisnya.
Cahaya matahari menerangi wajahnya yang pucat sehingga membuat gadis bersurai pirang itu menghalangi akses cahaya yang menyentuh netra hijau terangnya.
Dadanya terasa sesak, udara pagi ternyata tidak membuatnya merasa lebih baik setelah mengalami mimpi buruk itu. Dia melihat lelaki...
Dia melihat Granger meninggalkannya--
Tidak! Itu hanyalah mimpi! Ya, hanya mimpi. Karena Granger tengah berada di hadapannya saat ini sembari terlelap di sofa kecil yang terletak di sudut ruangan.
Ruby baru saja ingin menggerakkan tubuhnya untuk turun dari ranjang, tapi rasa sakit di lengan kanannya seketika menusuk sehingga membuat gadis itu meringis dan sontak mencengkram kain selimut putih yang telah setia menghalangi hawa dingin menyentuh kulitnya.
Pergerakan ringan Ruby membuat Granger membuka matanya sehingga iris merah terpampang ketika kelopak mata lelaki itu terangkat.
Tanpa aba-aba lagi, Granger mendekati gadisnya kemudian berjongkok di depan Ruby yang tengah duduk di pinggiran ranjang sembari tertunduk.
Diraihnya tangan gadis itu yang dingin, kemudian mendongak untuk menghadapnya.
"Kau sudah baikan?" tanyanya tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Redhood and The Vagrant Poet
Aventura"Saat purnama bersinar, hutan akan menghasilkan jeritan nanar." Di kedalaman hutan, terdapatlah seorang gadis bertudung merah yang hidup berdampingan dengan mimpi buruknya. Semakin dekat ia dengan mimpi buruknya, semakin dekat ia dengan satu-satuny...