Konten ini mengandung khayalan yang bersifat tidak nyata. Mohon para pembaca bijak menanggapi.
"Apa sudah selesai?" Granger menarik napas terengah-engah setelah menembakki serigala terakhir yang ada dalam jangkauannya.
"Nampaknya," jawab Gusion menyingkap helai rambut coklat yang menutupi dahinya.
"Sudah tidak ada yang tersisa," sahut Lesley menyingkirkan onggokan mayat serigala yang menghalangi jalannya.
Akhirnya sudah berakhir. Cukup lama mereka bertarung melawan gerombolan serigala sejak Pale Tusk membawa Ruby dan Roger entah kemana dalam sekejap.
Khawatir? Tentu saja Granger khawatir. Bayangan Ruby yang terluka selalu terlintas di pikirannya.
Tak pernah ia merasa segelisah ini menyangkut nyawa orang lain kecuali miliknya sendiri.
Namun, Granger tetap harus fokus dan tenang dalam menghadapi masalah yang ada di hadapannya. Seperti itulah cara ia hidup selama ini.
Lelaki itu selalu mengutamakan kerasionalan dibandingkan perasaan.
Berbeda sekali dengan kekasihnya. Ruby selalu bertindak sesuai kehendaknya, emosinya, dan tidak peduli akan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi padanya.
Mungkin itu adalah faktor utama, Granger berakhir menyukai gadis bersurai pirang itu.
Jangan mati, Ruby, batinnya
"Sebenarnya, kemana mahluk itu membawa Ruby?" tanya Lesley mengeratkan karet rambutnya yang terasa longgar.
Gusion menjawab sambil mengumpulkan kembali belati-belatinya yang tertancap di beberapa daging serigala. "Kemungkinan, mahluk jadi-jadian itu bisa menggunakan sihir ruang tempat. Dengan begitu, dia bisa memanipulasi ruang."
Granger menaikkan sebelah alisnya. "Memanipulasi ruang?"
"Ya. Misalnya saja, dia bisa berpindah tempat maupun membuat sebuah ruang yang baru."
Teori tentang sihir ini entah kenapa tidak membuat Granger tertarik sama sekali.
Oleh karena itu, dia ingin segera mencari Ruby. Lelaki itu pun mulai berjalan melewati Gusion dan Lesley yang saling memerhatikan kondisi satu sama lain.
"Granger, kau mau kemana?" Lesley bertanya dengan bingung akan apa yang hendak temannya itu lakukan.
"Mencari Ruby," jawab Granger singkat.
"Setidaknya istirahatlah sebentar, kau bahkan tak sempat membersihkan keringat dan darahmu," kata Lesley.
Granger mendelik. "Aku tidak butuh nasihatmu, Lesley," hardiknya.
"Granger!"
Gusion menyergap tangan Lesley ketika kekasihnya itu ingin mengejar Granger. "Hentikan, Lesley. Mau kau berbicara sampai kehabisan napas pun dia tidak akan mendengarkanmu."
Lesley mengembuskan napas jengah. Gusion kini mengenggam kedua tangan gadis itu dengan erat. "Aku pernah berada di posisinya. Makanya, biarkan dia melakukan hal yang diinginkannya. Itu bukanlah urusanmu."
Perkataan Gusion membuatnya sedikit mengerti. Lesley kini menatap wajah kekasihnya dan menyadari ada sebuah cipratan darah menodai wajah lelaki itu.
Jarinya tergerak sendiri untuk menyapu cairan kental tersebut. "Ini darahmu?" tanyanya.
"Tidak, ini milik serigala menyebalkan itu."
"Baguslah. Aku tak suka kalau serigala itu melukai wajah tampanmu."
Gusion terkesiap kemudian tersenyum lebar. "Jadi kau mengakui bahwa aku ini tampan?"
"Aku tak pernah bilang tidak, bukan?" goda Lesley tersenyum miring dengan tatapan mata menelisiknya yang mana hampir membuat Gusion terkena serangan jantung mendadak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Redhood and The Vagrant Poet
Aventura"Saat purnama bersinar, hutan akan menghasilkan jeritan nanar." Di kedalaman hutan, terdapatlah seorang gadis bertudung merah yang hidup berdampingan dengan mimpi buruknya. Semakin dekat ia dengan mimpi buruknya, semakin dekat ia dengan satu-satuny...