BAB 1

1.4K 124 46
                                    

Seorang gadis sedang berdiri di sebuah halte, menanti kedatangan bus yang akan membawanya menuju kampus hari ini. Anjani Gautama, nama gadis cantik berkacamata bulat itu. Mengeratkan selempang tas nya, ia bersiap untuk naik ke dalam bus yang berhenti tepat didepannya itu. Akhirnya setelah menunggu lama, ia bisa bernapas lega karna tak takut ketinggalan lagi pastinya. Hari ini hari pertama semester baru akan dimulai, semester ganjil yang ntah bagaimana menurutnya sangat berat jika dirasa.

Anjani bukan gadis pintar seperti yang sering diidolakan, dia hanya mahasiswa penggiat komunitas mimpi. Mahasiswa yang kuliah pulang pergi tanpa mengikuti rangkaian organisasi atau komunitas di kampus. Baginya kuliah sudah menjadi hal berat, jika ditambah dengan hal lain rasanya remuk sudah jiwa dan raga yang ia miliki.

Kesehariannya ini, tak lantas membuatnya di jauhi oleh teman-temannya. Sikap care dan penuh perhatian mampu membuatnya dengan cepat bergaul dengan teman-teman. Bahkan satu kampus ini mengenal siapa itu Anjani. Terlahir bukan dari sendok emas, apalagi guci emas. Anjani yang notabene hanya anak seorang Petani biasa di daerah Boyolali. Ibunya hanyalah ibu rumah tangga yang mengatur segala keperluannya di rumah sejak ia kecil.

Saat sudah mendapatkan tempat duduk, dia memasukkan kartu bus kedalam dompet hitamnya. Menurut info dari grup WhatsApp, hari ini ada kuliah umum dari salah satu dosen baru. Bukan baru mengajar atau baru saja lulus. Lebih tepatnya dosen yang dipindahkan dari universitas lain. Dengar-dengar dosen muda ini genius. Di usia muda dia sudah berhasil meraih gelar doktor nya.

Karena penasaran, dia membuka browser dan mencari nama itu. Beberapa informasi muncul mengenai kehidupannya. Rata-rata hanya membahas masalah pendidikan dan juga sumbangsih nya untuk Indonesia. Pria asli keturunan Indonesia, yang belatarbelakang keluarga pendidik semua. Pantas saja dia bisa sepintar itu, mungkin sejak kecil bacaannya bukan lagi tentang dongeng kancil tapi buku albert eistein yang tebalnya dapat membunuh lalat tanpa perasaan.

Alis Anjani terangkat kala membaca beberapa fakta. Wajah yang terpampang di layar ponselnya hanya wajah laki-laki tua seusia kakeknya. Benarkah ini yang dimaksud dengan pembicara nya kali ini.

"Bukannya masih muda, kok munculnya tua sih?" Pekik Jani tanpa menatap sekitarnya.

Tak memikirkan fakta itu, akhirnya Jani melanjutkan membaca beberapa artikel mengenai dosen tamunya ini. Karena penasaran, dia berselancar mencari wajah sang pembicara ini. deretan photo berjejer di depan netra. Belum sempat Jani melihat satu persatu, tarikan kuat di pundaknya menghentikan aktivitasnya.

"Mbak, Sakit!" Keluh seseorang disamping Jani sambil memukul dadanya dengan tangan menggenggam.

"Eh bu, jangan pingsan bu!" Pekiknya kaget karena wanita yang berada disamping Jani kehilangan kesadaran.

Kepanikan menghujani pikiran Jani, kala melihat perut ibu itu yang membesar. Ibu ini hamil bagaimana dengan kandungannya? Segera Jani berteriak, meminta pertolongan kepada sang sopir di depan sana. Untungnya bus ini tidak banyak penumpang, jadi tidak terlalu berkerumun dan kebanyakan dari mereka membantu.

"Pak, ini bagaimana?" Tanya Jani pada sang sopir yang menghentikan laju bus nya.

"Sebentar ya, Mbak. Ini di depan sana sudah ada Rumah Sakit. Coba ditenangkan dulu." Seru pak sopir melajukan kembali Bus kota itu.

"Cepat ya, Pak!" Ucap Jani sambil melepaskan beberapa benda yang mencekik tubuhnya. Mau di beri RJP pun, Jani tidak tahu caranya. Daripada terjadi kesalahan fatal, hanya ini cara yang Jani bisa lakukan.

Setelah beberapa saat, Bus yang melaju berhenti. Brankar dari UGD segera menyambutnya. Jani segera menyerahkan Ibu itu kepada seorang perawat laki-laki. Keringat mengucur deras melewati keningnya. meski sudah menggunakan riasan biasa, jani adalah tipe orang yang lebih aktif berkeringat.

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang