BAB 13

345 53 8
                                    

Semua yang terjadi ini perihal waktu, begitu pun dengan perasaan Jani yang tertata rapi di hatinya selama ini juga berkat bantuan waktu. Jani yang dahulu selalu menampik dan mencoba mengelak perasaannya sekarang jelas-jelas menerima perasaan itu. Awalnya memang susah bagi Jani menerima segala keadaan yang ada, tapi berkat keyakinan yang ada akhirnya Jani memutuskan dimana hati nya berlabuh.

Jika mengingat tapak tilas perjalanan mereka selama beberapa tahun ini tentu kalian semua bisa memilih siapa. Namun tidak dengan Jani. Yang sampai detik ini masih harus bertarung. Pertarungan antara hati dan logika nya yang tidak pernah mau berhenti memilih seseorang. Katakanlah Jani bodoh, atau terlalu lebay. Nyatanya Jani bingung dengan semua ini. Perasaanya selalu bercampur aduk saat-saat bersama keduanya. Ada kala nya Jani bertindak sangat senang, sedih, bahkan merasa sungguh menyebalkan. Semuanya terasa campur aduk bagi Jani.

"Woi Jan. Ngalamun aja sih?" Ucap Tio mengagetkan Jani yang sejak tadi termenung di tempat duduk nya. Pagi ini mereka akan melewati satu hari paling menyedihkan sebab Satya sedang sakit. Tak ada yang menghibur dengan celotehan-celotehan manja nya. Bahkan tingkah gila nya tak akan nampak hari ini.

"Tumben jam segini dah dateng?"

"Langsung ke kampus aku, Jan. Mau mampir ke kos Satya gak jadi sih, katanya dia batuk-batuk gitu. Takut ketularan aku." Jelas Tio sambil meletakkan tas yang dibawa nya.

"Kok gak di bawa ke dokter sih. Kasihan pasti Satya."

"Biarin Jan, kebanyakan ke Korpa sih dia!" Suara Sandy menganggetkan kedua nya. Berjalan sambil meletakkan tas untuk mengambil posisi duduk di dekat Tio.

Jani jelas mengangguk, mengingat kembali kebiasaan Satya yang memang susah dibilangi teman-temannya itu. Suka sekali nongkrong di tempat-tempat sejenis bahkan selalu minum dengan anak fakultas sebelah.

"Kalian kenapa gak ingetin Satya sih? Kasihan anak rantau dia tu." Omel Jani kepada dua temannya itu.

Tio memutar bola matanya, "Ih, kamu ya Jan. Aku sama Sandy dah capek ngingetinnya. Tapi ya gitu. Melbu kuping tengen metu kuping kiwo. Gak pernah di dengerin. Ya gak San?"

"Leres, Mas Tio." Jawab Sandy sambil mengangguk-anggukan kepala. Membenarkan ucapan Tio itu.

Jani berpikir, "Terus apa harus nunggu Satya Sakit dulu baru mau denger?"

"Kenapa ribut-ribut nih, Jan?" Rita yang baru saja datang ikut angkat bicara. Nampaknya konferensi meja balik yang dijalani mereka bertiga tak memenuhi titik terang. Hingga bertambah kepusingan dengan kehadiran Rita yang ratu rempong sejuta umat.

"Udah denger kabar my baby Satya sakit?"

"Hah?" Sentak Jani terkaget dengan ucapan yang barusan dia dengar, "sejak kapan kalian?" Sambung Jani menoleh ke kanan dan ke kiri mencari kebenaran dari teman-temannya.

Sandy menepuk-nepuk buku tebal di depan Jani. "Gak tau Jan?"

"Sumpah a'. Jani beneran gak tau."

"Kamu sih, Jan. Pacaran mulu sama Dikta." Celotehan Tio sukses mendapat tempelengan oleh Jani.

"Pantesan ngang ngong ngang ngong mulu dari tadi. Udah seminggu mereka jadian. Nggak tau kenapa juga seminggu setelah jadian si Satya langsung sakit. Lu apain sih Ta?"

"Ya nggak tak apa-apain a'. You know lah, aku anaknya alim gini."

"Awan Keliling Bengi ne maling." Saut suara dari depan pintu masuk ruang kelas.

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang