BAB 7

534 62 50
                                    

Hari berganti, tepat dua hari Jani absen dari kegiatan perkuliahan nya. Kejadian malam itu benar-benar membuatnya ketakutan. Saat ia ingin melupakan kejadian itu, tapi entah kenapa bayangan seseorang dengan darah di baju nya selalu memenuhi otaknya. Jani selalu mengingat-ingat kejadian itu, mengingat siapa yang menyelamatkannya. Namun nihil, otaknya tak dapat mengingat siapapun selain Dikta, dan sang kakak yang membawa nya ke rumah sakit.

Hingga detik ini, Saka masih menemani adiknya yang tengah terbaring di ranjang kamarnya. Menyiapkan segala keperluan sang adik dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Terlihat luka di kedua lutut dan siku Jani masih di balut dengan rapi. Itu tandanya Jani tak bisa kemana-mana tanpa dirinya. Baru kali ini Saka merasa ketakutan saat tak melihat adiknya, padahal biasanya mereka saling adu mulut saat berdekatan. Mungkin inilah yang dinamakan kasih sayang dalam persaudaraan.

"Dik, ini dimakan dulu. Kakak beliin di depan tadi." Ucap saka dengan tangan tergantung di depan wajah Jani sambil memegang sebuah sendok lengkap dengan isinya.

Dengan ogah-ogahan Jani bangun dari posisi tidurnya. "Kak Saka gak dinas?" Tanya Jani sambil melahap suapan dari sang kakak. Memang benar Jani sedang cuti kuliah, tapi untuk cuti makan tidak mungkin bisa.

"Kakak ambil cuti seminggu buat ngerawat kamu." Jawab Saka sambil menyendokkan buburnya lagi.

"Emang boleh ya begitu?"

Saka mengangguk, "Kakak kan pemimpin mereka, ya gak papa sekali-kali cuti." Jawab Saka sambil membanggakan dirinya di depan sang adik.

"Pemimpin? Mana ada pemimpin nangis." Timpal Jani meledeki sang kakak yang kemarin sempat menitikkan air mata di hadapannya.

"Halah, kalau bukan kamu juga gak tak tangisin. Kakak bilang tunggu bentar aja kamu babak belur. Kayaknya bener kamu harus nyari pacar yang bisa lindungin kamu." Ucap Saka panjang lebar, bagi Jani itu hal yang menyebalkan.

"Lalalalalalalala," Jani menjawab kalimat sang kakak dengan lirik lagu yang sering di dendangkan saat konser di kamar mandi. "Kakak beneran gak papa cuti buat aku. Nanti gantinya gimana?" Sambung Jani.

"Boleh lah, walau besok pas tahun baru kakak dinas sih." Ujar Saka dengan wajah sumringah.

"Lah, sama aja dong. Sayang tahu, Kak. Mending gak usah cuti aja."

"Biarin lah, Tahun baru juga mau keluar sama siapa? Mendingan Dinas to, Dik." Jawab sang kakak yang terdengar miris.

Kakak Jani tampan, sudah berpenghasilan juga, namun entah mengapa hingga saat ini masih memilih sendiri. Padahal rekan-rekannya sudah banyak berkeluarga dan memiliki anak. Ntahlah, Jani sendiri pun tidak tahu apa yang ada dipikiran sang kakak. Meski berseragam tak menjamin jodoh gampang.

"Kakak gak nikah?" Jani memberanikan diri bertanya kepada sang kakak. Bagi sang kakak topik menikah adalah suatu hal yang cukup sensitif dan selalu di hindari nya.

"Jangan mulai deh, Kakak masih pingin sendiri. Kesana sini ngajaknya kamu." Jawab sang kakak tanpa memandang mata Jani. Saat ini Jani semakin yakin jika sang kakak menyembunyikan sesuatu.

"Kakak bohong, kan?"

"Buat apa bohong, emang kakak mu ini gak laku."

Jani tersenyum, wajah rupawan begini saja dibilang tidak laku. Bagaimana dengan Sandy dan Satya yang bergonta-ganti pacar. Cewek udah kayak prasmanan buat mereka. Tapi sang kakak, malah bilang tidak laku. Memang dunia saat ini aneh sekali.

"Kalau soal Mbak Laras, lepaskan aja Mas. Bukankah dia yang meninggalkanmu." Ceplos Jani yang membuat Saka menghentikan gerakan tangannya. Saka menunduk sambil menatap mangkok yang berada di genggamannya.

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang