BAB 17

283 39 8
                                    

Jani masih berjalan dengan prinsipnya. Masih berkuliah di kampus yang sama namun dengan rasa yang tak lagi sama. Usahanya melupakan Pak Dana terbilang cukup berhasil. Selalu menghindari dosen itu adalah upaya yang Jani lakukan. Nyatanya semua itu berhasil. Jani bisa sedikit demi sedikit menghapusnya. Kesibukan bersama Pak Dimas dan keluarga mampu menjadikan Jani pribadi yang berbeda. Tangguh dan tentu nya sangat-sangat ingin maju tanpa melihat apa yang terjadi di masa lalu.

Jarak Jani dengan Pak Dana yang terlihat renggang, nyatanya menjadikan Jani dan Dikta sedekat dulu. Keduanya kembali bersama-sama, kendati Jani hanya menganggapnya teman. Nyatanya Dikta bahagia dengan itu semua.

Seperti pagi ini, dibawah guguran daun. Keduanya berjalan beriringan, sambil mengobrol. Udara kampus yang dingin jelas tak terasa oleh mereka. Pembicaraan hangat di tambah segelas kopi di tangan masing-masing menambah suasana yang sejuk semakin bermakna.

"Jan, maaf nggak pernah ngasih tahu." Ucap Dikta sambil menunduk, maksud hati ingin menjelaskan semua nya pada Jani.

"Hem."

"Aku bisa jelasin semuanya," Jawab Dikta mendengar respon Jani yang hanya berdehem padanya itu.

"Hem."

"Jani dengerin gak sih!" Pekik Dikta saat dirasa jawaban Jani hanya mempermainkannya saja.

Suttt!!!

Instruksi Jani menghentikan omelan Dikta. Dilihatnya Jani yang sedang mengangkat telfon. Rupanya bukan pada dirinya deheman itu diberikan. Dikta terlalu pede memang.

"Siap, Pak. Ini saya sudah berada di kampus. Langsung ke ruangan bapak ya?" Ucap Jani dengan penuh kesopanan.

"Nggih, Pak. Ini sudah saya bawa hasilnya. Jam sebelas Pak?" Sambung Jani sambil melihat bendelan kertas di tangan nya itu,

"Ya, yuk pak!" Pungkas Jani menjawab Pak Dimas yang menelfonnya itu.

Jani mengakhiri panggilan telepon itu, segera menatap Dikta yang sejak tadi menekuk wajahnya. Jani paling suka ekspresi Dikta saat seperti ini. Ingin sekali mencubit namun Jani sadar, Dikta tak seperti dulu.

Dulu mereka mungkin hanya berteman, namun sekarang salah satu nya ada perasaan. Jani tak ingin memberi harapan. Takut dikira mempermainkan, jatuhnya malah Jani yang merasa bersalah nantinya.

"Udah di bilang hem, masih aja nyerocos!"

"Ya maaf, kan aku nggak tahu."

Jani tersenyum, "Awalnya aku kecewa sama kamu. Kita udah temenan dari kecil tapi kamu nyembunyiin hal besar kayak gini dari aku."

Dikta hanya diam, menatap Jani dengan rasa bersalah yang memenuhi pikiran dan hatinya.

"Tapi setelah aku pikirkan, aku tahu alasan kamu kayak gini. Semua orang punya rahasia, punya sisi yang menjadi hal pribadinya. Jadi aku paham mungkin ini yang menjadi rahasia mu selama ini, Dik."

Dikta mendongak, menatap Jani dengan mata berkaca-kaca nya.

"Its okay, gak papa Dik. Aku pasti tetap di tim mu."

"Makasih, Jan. Aku udah lama mau cerita ke kamu. Tapi selalu ku urungkan karena aku nggak mau kamu jauh dan ninggalin aku. Cukup mama ku aja yang ninggalin aku. Jangan sampe kamu juga ikut-ikutan ninggalin aku."

"Mana mungkin aku ninggalin kamu? memangnya aku teman apa? Aku bukan tipe orang yang bakal ninggalin teman yang kesusahan."

"Bayangan kamu datang dan pergi selalu terlintas, Jan. Mamaku ninggalin aku saat aku kecil. Aku cuman sama papa waktu itu. Mama pergi bawa Mas Dana, sedangkan aku? di tinggal begitu saja. Beberapa bulan setelahnya, Papa kecelakaan saat pulang dari bekerja."

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang