BAB 23

286 38 4
                                    

Libur yang diberikan sudah habis. Nyatanya liburan selama tiga hari tak memuaskan Jani. Kembali bekerja adalah kewajiban Jani jika masih ingin merasakan gaji setiap bulannya. Dengan membawa koper yang telah dipersiapkan, Jani berangkat dari rumah dengan diantar Mas Azam, asisten ayahnya.

"Duh, kayak nya telat deh, Mas."

"Kalau telat, nanti mas antar sampe ke Yogyakarta, Jan."

"Ck, seharusnya kemarin aku nolak buat ikut workshop ini. Males banget ya ampun." Keluh Jani pada diri sendiri dan Azam yang sedang menyetir di sampingnya itu.

Jani dilanda penyesalan, seandainya kemarin ia menolak Satria. Mungkin saat ini dia sedang berleha-leha dirumah menanti surat penunjukkan nya. Tapi jika dia menolak, mungkin juga Jani akan langsung dikirim ke Yogyakarta tanpa bertemu dengan keluarga nya dulu.

Mobil melesat dengan kencang. Jani yang diburu waktu hanya mengandalkan kecepatan dari Mas Azam dan jalan dari Tuhan untuk dirinya. Baru saja berharap, nampaknya Jani benar-benar harus menelan kekecewaan. Pasalnya jalanan Solo pagi ini terlihat ramai, maklum berpergian di hari senin sama saja membuang waktu di perjalanan.

Di tengah kekacauan yang ada pada hatinya. Pandangan Jani tak sengaja melihat seorang anak kecil berpakaian seragam merah putih yang menangis dengan dikelilingi teman-temannya. Sepertinya perundungan yang terjadi di zamannya masih terjadi hingga sekarang. Jani yang melihat hanya menggelengkan kepala, pandangannya pun kembali ke jalanan yang macet.

"Jam berapa, Mas?" Tanya Jani yang mendapat jawaban cepat dari Azam yang memandang jam tangannya, "Jam sembilan, Jan."

"Duh, mana Jam satu acara udah mulai lagi."

"Kamu sih, seharusnya tadi berangkat jam tujuh."

"Ya maaf, semalam Jani belajar dulu."

Mobil yang dikemudikan Mas Azam bergerak dengan sangat pelan. Mungkin jika diukur dengan jalan kaki, akan lebih cepat dengan opsi kedua. Sungguh kemacetan ini menyiksa.

"Baru sadar kalau Solo dah kayak Jakarta sekarang. Macet dimana-mana."

"Emang, gak pulang ke Solo dua tahun aja udah buat kamu terheran-heran gini ya, Jan." 

Jani menggeleng, hingga akhirnya keduanya tertawa. Saat tertawa, tanpa sengaja Jani menoleh ke arah anak tadi. Dilihatnya anak itu masih terduduk dengan menunduk menangis. Tanpa pikir panjang Jani keluar dari mobil dan segera menuju ke keramaian itu.

"Gak punya ibu. . . Gak punya ibu. . ."

"Zaman sekarang, gak punya ibu. Ya gak level banget dong."

"Gak dimasakin ibu nya nih pasti. Kamu keluar aja dari sekolah kita."

Jani semakin murka saat mendengar ucapan anak-anak itu. Jani yang dekat segera menarik telinga salah satu anak kecil yang berkata paling akhir. Anak itu menangis dengan cubitan Jani. Dan lainnya segera berlari meninggalkan anak perempuan yang menangis itu.

"Eh, Dik. Kamu gapapa sayang?"

Anak kecil itu masih menangis, kendati diabaikan Jani masih mengajaknya bicara.

"Kamu kenapa sayang?" Ucap Jani sambil mengusap surai hitam anak tersebut. Menenangkan sesuai dengan ilmu psikologis yang ia terima selama kuliah dulu.

"Tenang ya cantik, semua akan baik-baik aja. Mama pasti senang lihat kamu dari sana. Kamu harus buat mama bangga. Biar mama senyum di surga sana." Ujar Jani sambil menepuk punggung anak perempuan itu, dan ternyata manjur. Anak itu menatap Jani dengan wajah basah penuh air mata nya.

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang