Udara semakin sejuk, langitpun mulai menampakkan keceriaannya. Matahari telah terbit. Ayam saling berkokok bersahut sahutan, yang artinya hari sudah berganti menjadi pagi.
Dengan rasa semangat Dinda beranjak dari tempat tidurnya. Melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membasuh mukanya.
Setelahnya ia pergi ke dapur untuk membuat sarapan untuk dirinya dan adiknya.
Tidak terlalu lama untuk berkutit didapur. Karena dirinya hanya menggoreng telur ceplok yang sudah menjadi makanan kesehariannya untuk sarapan.
Dinda berjalan ke arah kamar satunya.
"Dek bangun, udah siang" ujarnya pada adik kecil itu.
Tanganya mengelus rambut hitam surai itu. Pikirannya membayangkan sesuatu yang sepertinya tidak akan mungkin terjadi. Hidupnya terlalu banyak berandai andai.
"erghh" erangan kecil itu keluar dari mulut Faiz yang dilanjutkan dengan menguap.
Faiz Saputra. Adik kecil yang selalu Dinda jaga dan rawat dari kecil. Tak terasa kini usianya sudah memasuki 7 tahun. Yang artinya sudah menginjakkan di bangku kelas 1 SD.
"ayo bangun, mandi setelah itu sarapan. Jangan malas" ujar Dinda sembari bergegas keluar dari kamar itu.
Ya, Dinda selalu menekankan kata 'jangan malas' kepada Faiz dan juga dirinya sendiri.
Karena dalam kamus hidup Dinda tidak ada kata malas.Dinda mulai melakukan ritual mandi sebelum berangkat sekolah. Tak membutuhkan waktu lama untuk dirinya mandi. Hanya sekitar 20 menit ia sudah siap dengan seragam sekolahnya.
Dirinya tidak perlu menghiasi mukanya dengan make up. Jangankan untuk membeli seperti itu, untuk memenuhi kehidupan sehari harinya aja sangat susah.
"ayo semangat" ucapnya menyemangati dirinya sendiri sembari menatap cermin dengan senyuman yang sulit diartikan.
Langkahan kakinya menuju ke dapur untuk mengambil sarapan dirinya dan adiknya. Kemudian dibawanya ke ruang depan.
Tidak ada meja makan. ataupun tempat tempat lainnya.
Bangunan yang sudah tua yang bahkan bisa dikatakan tidak layak itu sudah menjadi tempat tinggalnya sedari kecil.
Hanya ada 2 kamar, 1 kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Ya bahkan dirinya tidak mempunyai televisi.
Jujur, hatinya sangat sakit ketika sering mendengarkan eluhan dari adiknya itu. Namun apa boleh buat?
Bahkan handphone yang Dinda punya juga tidak seperti milik kalian yang sangat mewah.
"Dek nanti Kaka pulangnya rada telat. Kamu pulang sekolah langsung pulang ke rumah ya jangan keluyuran" ujar Dinda memperingati yang dibalas anggukan oleh Faiz.
***
Setelah mengantarkan adiknya sampai sekolah kini Dinda mengayuhkan sepedanya menuju SMA CENDEKIA.
Bagaimana ia bisa memasuki sekolah favorit itu? Oh tentu saja dengan prestasinya yang selama ini ia dapatkan.
Maka dari itu Dinda sangat bersyukur.
Tak lama untuk sampai disekolahnya. Hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk menggoes sepeda itu.
Tangannya bergerak untuk mengelap keringat yang membasahi permukaan dahinya. Lalu memparkirkan sepedanya itu ditempat biasanya.
Memegangi kedua gendongan tasnya kemudian memejamkan matanya. Lalu menghembus kasar nafas itu.
"gue siap menjalani hari ini" monolognya pada diri sendiri diakhiri senyum manisnya.
Kakinya berjalan santai menuju kelas XII IPS 1. Baru saja mengijakan beberapa langkah ocehan ocehan orang mulai memasuki Indra pendengarannya.
"wih anak beasiswa udah berangkat"
"busett kucel amat neng"
"woy Din dirumah gua banyak barang bekas kali aja Lo mau mungut"
Tenang.
Itu sudah menjadi makanan keseharinnya diskeolah.
Dinda tidak marah ataupun sejenisnya. Tidak ada juga niatan untuk membalasnya. Masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Dinda hanya membalas dengan senyuman manisnya.
Dan asal kalian tau sebenernya Dinda itu cantik walaupun tanpa polesan make up apapun.
Bel berbunyi. Dinda segera melanjutkan untuk menuju ke kelasnya yang sempat tertunda.
"Lo baru berangkat Din" tanya Bela yang merupakan sahabat Dinda dari SMP.
"iya bel tadi rada kesiangan hehe" jawabnya dengan menampilkan deretan gigi.
Mulai mengeluarkan satu persatu buku bukunya. Matanya kini fokus kedepan untuk mendengarkan guru didepan sana.
Ia janji kepada diri sendiri untuk semangat belajar supaya bisa meraih cita citanya itu.
-
Dear anak pertama.
Kuatin lagi bahu sama hatinya.
Semesta bercandanya makin seru.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIANDRA
Teen FictionNikah diumur 18 tahun sama sekali bukan list dalam hidup Dinda.