5. TAMPARAN

20 2 0
                                    

Mulut Dinda terus terusan menggerutu, hatinya tak tenang. ia gelisah.

sudah berapa kali Dinda meminta untuk diturunkan di halte namun benar benar tak dihiraukan oleh Andra.

Rasanya ia sangat takut para fans Andra menyerangnya. Ia tak ingin berurusan dengan mereka mereka semua.

Sebenarnya bukan apa, bullyan sudah biasa menjadi makanan kesehariannya. tapi ia pikir, ini lain hal lagi.

Baru saja sampai diparkiran sekolahnya, tatapan semua orang tertuju padanya. Dinda hanya bisa menundukan kepalanya. bahkan ia sampe lupa belum turun dari motor.

"Turun" perintah Andra singkat

"hah?" lagi dan lagi hanya itu yang bisa Dinda ucapkan.

Andra menajamkan Indra penglihatannya membuat orang didepannya takut"cepet turun"

"i-iya"

Dinda semakin takut kala kalimat kalimat yang mereka lontarkan mulai bericuhan diperdengarannya.

"Woyy itu si cupu kan"

"anjirr bisa bisanya berangkat bareng Andra"

"Gila itu gue aja belum pernah dibonceng "

"pasti disogok nih sama si Dinda"

"ganjen banget jadi cewe"

Dan masih banyak lainnya.

Andra melepaskan helmya, lalu ditaruh di jok duduknya. "ga usah didengerin" setelahnya ia melengos begitu saja meninggalkan Dinda yang sedang seperti orang gila, mungkin.

Dinda memberanikan diri melangkahkan kaki menuju kelasnya. Berbagai cemoohan saling bersahutan sahutan. Namun tak membuat semangat Dinda luntur untuk menuntut ilmu hari ini.

***

Sepulang sekolah Dinda dikejutkan lagi dengan kehadiran orang tuanya. Namun kali ini Dinda tak menganggap mereka ada. ia menyelonong masuk begitu saja ke dalam rumah menuju kamar.

Sebelum ia sampai di kamar sebuah tangan menarik paksa membuat kepalanya terbentur tembok dindingnya.

"awss" rintihnya sembari memegang kepalanya.

"Semakin hari semakin kurang ajar ya kamu!" bentak pria paruh baya yang tak lain adalah papanya

"Saya didik kamu itu supaya jadi orang yang benar!"

"Percuma sekolahin kamu tinggi tinggi kalo ilmunya ga dipake!"

Dinda masih belum menanggapinya, dengan raut muka santainya ia bersedekap tangan didadanya.

"Didik? saya tanya KAPAN KALIAN MERASA DIDIK SAYA? YA SAYA BEGINI KARNA SAYA TIDAK DIDIK OLEH ORANG TUA SAYA YANG SANGAT GILA HARTA. JADI APA SALAH KALAU SAYA MENJADI BEGINI?

"DAN SATU LAGI?DI SEKOLAHIN? MOHON MAAF SAYA SEKOLAH DENGAN BIAYA SAYA SENDIRI, TIDAK ADA SEPESERPUN UANG YANG KALIAN KELUARKAN!"

"JADI GA USAH SOK KERAS UNTUK MENGATUR HIDUP SAYA, SAYA BEGINI JUGA KARENA KALIAN!"

plakk

Tamparan itu berbunyi nyaring disebelah pipi kanannya, Dinda menggeleng gelengkan kepalanya. Ini belum seberapa dari yang mereka lakukan sebelum belumnya.

"yang kiri ga sekalian?" tawar Dinda dengan mengajukan pipi kirinya.

"AYO TAMPAR!"

"TAMPARAN INI SAMA SEKLAI GA ADA APANYA DIBANDING RASA SAKIT YANG YANG SAYA ALAMI SELAMI INI"

"ATAU MAU BUNUH SAYA SEKALIAN , SILAHKAN!"

"17 TAHUN SAYA HIDUP, RASANYA TAK ADA APA APANYA. HANYA RASA SAKIT YANG SAYA DAPATKAN. SE GA BERARTI ITUKAH SAYA DIMATA KALIAN?"

"KALO BOLEH MEMILIH SAYA MENDING GA USAH DILAHIRIN DI DUNIA SEKALIAN!"

hiks..hiks..

pertahanan Dinda untuk menahan air mata lolos begitu saja.

tubuh Dinda rasanya lemah sekali, ia merosot mendudukan dirinya dilantai dengan tangisan yang terus menemaninya.

"sekarang kalian mau apa silahkan" ujarnya melirih.

"Oh ini yang didapat diskeolah, melawan orang tua? hebatt" Gilang memberikan tepuk tangan.

"PAPA GA MAU TAU LUSA ADA PERTEMUAN DENGAN KELUARGA REKAN PAPA DAN KAMU HARUS DATANG!"

"GAK" gertak Dinda.

"Masih berani lawan hm?"

"KENAPA SAYA HARUS TAKUT? KALIAN SIAPA SAYA TANYA? MUNGKIN ORANG TUA ITU HANYA STATUS. TAPI SIKAP KALIAN TIDAK MENCERMINKAN SAMA SEKALI ADAB SEBAGAI ORANG TUA!"

"DIMANA MANA ORANG TUA ITU MENYAYANGI ANAKNYA, MEMBESARKAN ANKANYA, MENDIDIK ANAKNYA. BUKAN MALAH SEPERTI KALIAN YANG HANYA MEMANFAATKAN ANAKNYA!"

"CUKUP! PAPA GA MAU TAU KALO KAMU SAMPAI GA DATENG PAPA JAMIN HIDUPMU TAMBAH SENGSARA! setelah mengucapkan itu Gilang menyelonong begitu saja dengan istrinya.

"Tuhan Dinda cape. boleh ga Dinda nyerah?" monolognya dengan air mata yang terus bercucuran.

Seorang anak kecil masuk ke dalam rumahnya dengan memberi salam.

Faiz menyamaratakan dengan Dinda yang tengah dilantai.

"Kakak kenapa nangis?" tanyanya polos

Dinda menepis air mata itu lalu tersenyum hangat kepada sang adiknya " ngga, tadi cuma kelilipan. Kamu dari mana dek?"

Fais mengangguk-angguk kepalanya " tadi Faiz abis dari rumah Doni"

"kamu udah makan belum dek?"

"belum kak, kan nunggu kakak pulang hehe"

"yaudah yuk makan, Kaka masak dulu oke"

"okee"

Mereka berdua bangkit, untuk memulai aktivitas yang telah direncanakan tadi.

-

Maaf untuk segala rapuh yang terlihat rapi.

DIANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang