Suara Bang Radit membuatku mengalihkan pandangan dari segelas kopi yang sangat cantik ini. Tangannya benar-benar dapat menghasilkan sebuah seni yang begitu apik dan sangat estetik.
Kulihat Bang Radit duduk di hadapanku dengan tenang, dengan kedua pandangannya yang menatap lurus ke arahku. Aku buru-buru menunduk kembali karena tidak kuat menerima tatapannya. "Sayang ..." Ucapku dengan wajah tertunduk.
Bang Radit lagi-lagi tertawa. "Kalau nggak diminum, gimana bisa tau rasanya Ka?"
"Hidup matinya abang tergantung gelas di depan kamu itu loh kalo kamu mau tau..." Lanjutnya kepadaku.
"Tapi gambarnya bagus banget... Nanti kalo aku minum jadi rusak."
"Gemesin banget sih, Ka...."
"Nanti kalo rusak abang bikinin lagi. Tinggal bilang aja..." Bang Radit masih saja mencoba membujukku untuk meminum secangkir kopi special - setidaknya itu yang dia katakan tadi.
"Pasti enak sih ini ..."
"Pasti diterima jadi pacar dong ya, berarti..." Tukasnya sembari menaik turunkan alis.
Ya Allah ... Damage-nya kena banget.
"Eh ..." Responku padanya.
"Ayo diminum, Ka. Jangan cuma di liatian aja."
"Kalau kamu emang belum siap kasih jawaban, abang masih bisa nunggu kok." Lanjutnya karena aku tak kunjung juga meminumnya.
Setelah menarik napas panjang, aku mengangkat cangkir di depanku dengan kedua telapak tangan. Dan seperti gerakan slow motion dalam sebuah film, tepat setelah aku meminum seteguk dari kopi tersebut, aku melihat Bang Radit yang tersenyum di depanku benar-benar terlihat sangat-sangat mempesona.
"Jadi gimana?" Tanyanya kemudian. Bang Radit bahkan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Enak," Jawabku tanpa berpikir panjang. Rasa latte ini memang benar-benar lebih enak dari yang biasa aku nikmati selama ini. Entah memang faktanya seperti itu, atau karena Bang Radit yang membuatnya sehingga indera perasaku sudah tidak bisa membedakan rasa lagi. Tapi melihat banyaknya pelanggan yang ada di sini, aku rasa option pertama lah yang lebih relevan sebagai realitasnya.
"Jadi udah official nih?" Tanyanya dengan senyum menggoda.
Astaga, Abang!
Aku meletakkan kembali cangkir kopi di depanku, lalu menatapnya yang sedang tersenyum. "Iya," Jawabku yang diikuti dengan anggukan kepala.
ARUNIKA LO UDAH NGGAK JOMBLO LAGI! Teriakku pada batinku sendiri ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingkat Dua
Teen FictionBagi Arunika yang tidak shining simmering splendid, berkenalan dan menjadi dekat dengan seorang Raditya adalah salah satu hal yang mustahil dalam hidupnya. Kehidupan tingkat duanya yang hanya diisi dengan kuliah dan pulang tepat waktu, lalu bergul...