Part 41 • Arunika

21K 2.5K 29
                                    

It's just another sunday, right? 

Setelah menyelesaikan satu sesi senam aerobik yang dilaksanakan di Lapangan Sempur, aku memutuskan untuk mampir  membeli bubur ayam. Menghabiskan waktu sekitar 10 menit, aku akhirnya dapat menikmati semangkuk bubur dari pemilik kedai yang sedang banyak pelanggannya ini.

"Run... kok nggak bilang sih kalau nggak pada ikutan?"

Aku tertawa lirih sembari mengambil sesendok sambal untuk dimasukan ke dalam mangkok. "Emang kalo gue bilang lo mau ikutan olahraga pagi?"

Fayka meringis. "Ya enggak sih. Gue mending tidur aja!"

Aku mendengus mendengar pernyataannya barusan. Minggu pagi memang biasanya seluruh penghuni kontrakan akan bersama-sama untuk berolahraga. Sebuah rutinitas yang entah awalnya di inisiasi oleh siapa.

Sayangnya, tadi pagi banyak yang mendadak meng-cancel acara ini. Ada yang ada acara, ada yang masih ngantuk, dan bahkan ada juga yang beralasan mau ketemu doi. Dasar!

"Gue tau ya apa yang ada dalam kepala lo!"

"Lo pasti nyesel kan nggak bisa godain cowok karena si Kiki nggak ikutan?" Lanjutku setelah melihat muka masam perempuan berkaus hitam itu.

Kulihat responnya hanya tertawa. 

Kiki adalah perempuan paling berani yang pernah aku kenal selama ini. Dia bisa saja melakukan flirting tiba-tiba kepada orang yang sedang berinteraksi dengannya, bahkan kepada orang yang baru ditemuinya sekali. Dan ya, dia bisa menggila jika sudah bertemu dengan Fayka.

"Lo udah move on emang?" Tanyaku karena setelah empat hari menangis bombay, Fayka sudah terlihat baik-baik saja sekarang.

"Buat apa nangisin cowok brengs*k kaya dia? Buang-buang waktu dan tenaga aja!" Jawabnya sewot.

"Terus yang kemaren nangis mulu sampe nggak mau makan siapa ya?" Ledekku saat mengingat perbuatannya kemaren.

"Jorok banget sih, Fay!" Aku mengatainya karena melempariku dengan tisu yang barusan dia gunakan untuk mengelap meja.

"Ya elo Run lagian, resek banget!"

Aku tertawa melihat bibirnya mengerucut kesal. "Ya udah deh sori, nggak sengaja itu yang barusan!" Jelasku sebelum kembali menyantap bubur yang ada di hadapan. 

"Itu si Raini kapan baliknya ya btw?" Tanyanya setelah menyeruput segelas es teh.

Oh iya, biar aku jelaskan dulu kenapa Raini belakangan tidak pernah lagi muncul dalam cerita kehidupanku. 

Seperti yang kita ketahui bersama, dia adalah salah satu mahasiswa teladan. And yeah, sudah hampir dua bulan ini dia menjadi salah satu enumerator dalam penelitian dosen yang dilakukan di luar Pulau Jawa. So, kontrakan kami untuk sementara kehilangan satu penghuninya.

"Lusa katanya kemaren pas chat gue, " Jelasku sembari menunjukkan layar ponselku padanya.

"Asik! Dapat oleh-oleh khas Lampung, lumayan..."

***

"Maaf, nunggunya lama, ya?"

Aku mengulas senyum dari balik masker. Debu dan cuaca panas benar-benar perpaduan yang sempurna untuk berdiri di pinggir jalan seperti ini. Namun jika itu menunggu Bang Radit, rasanya berkorban sedikit memanglah sebanding dengan apa yang akan diperoleh.

Aku menggeleng. "Abang sendirian?" Lantas mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru arah, mencoba mencari keberadaan orang lain yang mungkin saja datang bersamanya.

"Kenapa nggak langsung masuk aja?" Bang Radit bertanya sembari menarik tanganku untuk digandengnya. Berjalan memasuki salah satu cafe yang sepertinya menjadikan anak muda sebagai segmen utama pasarnya.

"Duduk dulu, Ka." Aku berdecak kagum melihat interior cafe ini. Terasa sederhana dan elegan secara bersamaan. Semua perpaduannya terlihat apik dan mix and match antara satu dan yang lainnya.

"Kenapa aku nggak tau ya, Bang kalo ada  tempat kaya gini di sini?" Tanyaku dengan masih memperhatikan penatan ruang di tempat ini. 

Cafe ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tempat lain. Namun disini kita bisa memlih untuk duduk di kursi atau lesehan dengan karpet. Selain itu, dekorasi yang mengusung tema alam juga  memberikan kesan bahwa tempat ini warm and cozy sekaligus.

Bang Radit tersenyum. "Belum ada setahun soalnya, jadi emang belum seterkenal itu."

Dahiku mengerenyit mendengar penuturannya. "Abang kok bisa tau?"

Bang Radit tertawa, lalu mengacak gemas rambutku. "Kamu liat itu, Ka?" Ucapnya sembari menunjuk sebuah foto yang ada di sisi dinding cafe.

Sebuah tulisan chocoscafe yang dibentuk dengan apik, dan sebuah bingkai foto ukuran biasa diantara banyak bingkai-bingkai lain yang berisikan 4 orang lai-laki yang mengunakan pakaian seperti layaknya seorang barista. Lagi-lagi dahiku mengerenyit, apa yang spesial? Sepertinya tidak ada!

"Kenapa sama fotonya, Bang?"

"Kamu nggak ngerasa ada sesuatu?"

Aku menggeleng. "Coba diperhatiin sekali lagi, Ka."

Mataku kembali mengfokuskan pandangan ke arah yang ditunjuknya itu. Berdiri dari kursi, lalu berjalan melangkah untuk mendekati foto tersebut. Wait! Aku semakin mendekatkan langkahku kepada objek yang sedang diamati ini. Aku menoleh ke arah Bang Radit. "Itu yang kedua dari kanan, abang bukan?" Tanyaku dengan jari telunjuk mengarah ke arah gambar yang dimaksudkan.

Bang Radit tersenyum, lalu mengangguk. "Abang owner-nya?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, ia justru menarik tanganku untuk kembali duduk. "Bisa di bilang iya, bisa juga di bilang bukan."

"Maksudnya?" Dahiku mengernyit karena bingung akan perkataannya.

"Setengah dari modal pembuatan cafe abang minjem dari papa..."

"Dan buat yang ngelolanya juga sebagian besar abang serahin ke temen. Jadi bisa dibilang abang cuma pegang dari sisi administrasi dan ngecek-ngecek doang." Lanjutnya menjelaskan.

Aku mengangguk mengerti. "Terus mereka bertiga?"

Bang Radit menoleh ke arah foto. "Yang paling kanan namanya Reyhan, bisa di bilang temen dari kecilnya abang. Terus untuk dua orang yang sisi kiri, mereka yang ngajarin kita caranya bikin kopi." 

Aku mengangguk-angguk. Tanpa perlu dikenalkan, tentu aku sudah tau siapa itu Bang Reyhan. Dia adalah salah satu dari anggota gang-nya yang dulu sering aku amati diam-diam saat ada di kantin fakultas. "Jadi abang bisa bikin kopi?" 

Bang Radit tertawa, kemudian kembali mengacak gemas rambutku. "Gimana nggak jatuh cinta sih sama kamu Ka, kalo kamunya nggemesin kaya gini."

Mataku berkedip-kedip. "Ha?" Seluruh inderaku rasanya berhenti berfungsi dan aku tidak bisa memikirkan hal lain.

"Nggak papa, Ka. Jangan dipikirin."

Bang Radit bangkit dari kursinya. "Tunggu bentar ya, aku bikinin kopi spesial dulu buat kamu."

Baru saja berbalik, aku memegang lengannya hingga dia menoleh ke arahku. Bang Radit menaikkan kedua alisnya, seolah bertanya kenapa aku menghentikannya.

Aku menarik napas dalam, mungkin ini saat yang tepat, Ka. Lo udah terlalu jahat buat minta waktu lebih lama lagi. "Soal yang di depan restauran kemaren ...." Aku menghentikan ucapanku karena merasa gugup.

Kulihat matanya berbinar mendengar ucapanku barusan. Bahkan, Bang Radit kembali menarik kursinya dan  duduk kembali. "Kamu udah siap kasih jawaban?" Tanyanya begitu bersemangat.

Aku masih terdiam. Berusaha mengatur detak jantung yang kini bertalu-talu tidak karuan. "Em...em..."

"Gimana, Ka?" Tanyanya tidak sabar.

Bismillah, Ika!

"Jawaban Ika tergantung rasa kopi buatan abang... " Ucapku sebelum menunduk karena terlalu malu menghadapinya.

Apa susahnya sih bilang IYA Arunika (?) ....


Tingkat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang