Sudah hampir tiga bulan aku tidak pulang ke tempat ini. Tempat dimana aku tumbuh besar dan belajar banyak hal di bawah bimbingan ayah dan juga bunda.
Rasanya benar-benar tenang saat melihat dari kejauhan rumah tingkat tiga itu. Seolah sudah bisa merasakan hangatnya pelukan bunda yang sangat begitu menenangkan.
"Welcome home, Ika!" Teriakku saat barusaja membuka pintu.
"Jangan kaya di hutan, Dek. Suara Lo bisa bikin geger se-RT."
Mendengar ucapan Bang Saka, aku hanya mencebik kesal. "Biarin! Suka-suka gue!"
Jam dua siang ayah dan bunda pasti masih ada di kantor. Jadi tidak masalah bagiku untuk berteriak-teriak dan membuat keributan.
"Bang, gue langsung balik, ya." Bang Bima langsung berpamitan tepat setelah meletakan beberapa paperbag milik Bang Saka yang entah berisi apa.
Aku menoleh ke arah Bang Bima. "Nggak mampir dulu, Bang?" Tawarku padanya.
Aku sendiri sudah duduk manis di sofa ruang tamu, dengan punggung yang disandarkan. Benar-benar terasa nikmat setelah perjalanan melelahkan.
Bang Bima menggeleng. "Nggak, Run. Mau langsung aja."
"Makasih Bang tumpangannya!" Lanjutnya kemudian.
Rumah Bang Bima memang bersebalahan dengan rumah kami. Jadi daripada masuk dan istirahat ditempat orang lain, mungkin dia lebih nyaman untuk langsung pulang dan beristirahat di rumahnya sendiri.
"Thanks juga udah mau jadi sopir!" Bang Saka dengan gaya bossy-nya langsung menaiki tangga dan menuju ke kamarnya.
"Untung banyak duit itu orang! Jadi gue masih tahan sama sikap songongnya." Bang Bima mencibir Bang Saka yang kini sudah tidak terlihat lagi.
Bagaimanapun sikap menyebalkanya itu, Bang Saka tetaplah sosok kakak yang baik. Bahkan dia juga berprofesi sebagai salah satu sumber keuanganku dan Bang Bima selama ini. Dia benar-benar dermawan karena memberikan kami jatah bulanan untuk jajan. Menurutnya, memberi uang kepada kami setiap bulan dianggap sebagai sodakoh untuk orang miskin. Dia juga suka menyombongkan bahwa uangnya sudah terlalu banyak sehingga harus diamalkan.
Ya, bisa dibilang kami berdua adalah tempat pembuangan uangnya yang berlebihan.
"Udah Bang, udah. Kaya lo nggak tau aja dia orangnya kaya gimana!" Ucapku sebelum Bang Bima mengoceh karena kekesalannya.
"Cepet gih balik! Gue nggak nganter lo ya, Bang. Capek!" Aku memejamkan mata dan memijit pelipis.
Sekian lama tidak berpergian luamayan jauh menggunakan mobil, rasanya badanku pegel semua. "Ok! Sans. Balik dulu ya... Assalamu'alaikum."
***Hadiwijaya's grup adalah salah satu perusahaan property yang cukup besar di negeri ini. Didirikan dua puluh lima tahun yang lalu, dan saat ini sudah memiliki banyak cabang perusahaan di berbagai wilayah di Indonesia. Makanya tidak heran, sebagai salah satu eksekutif di perusahaan, ayah harus sering berpergian dinas baik ke luar kota maupun ke luar negeri.
"Jadi ayah pulangnya kapan, Bun?" Tanyaku pada Bunda yang duduk di sebelahku.
Selepas makan malam tadi, aku dan Bunda memutuskan untuk duduk di ruang keluarga untuk berbincang dan menikmati sebuah film. Sedangkan Bang Saka? Dia baru saja on the way kembali ke Bogor karena esok siangnya harus mengisi sebuah acara milik temannya itu.
"Kalo nggak ada masalah sih dua hari lagi pulang, Dek." Bunda berucap sembari membolak-balikkan berkas-berkas.
Bundaku sebenarnya adalah seorang ibu rumah tangga. Namun karena kecintaanya terhadap bunga, beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan toko bunga yang berjarak tidak jauh dari rumah kami. Gelarnya sebagai nyonya Hadiwijaya, nyatanya tak membuatnya lantas bergaya hidup mewah dan justru memilih membuka flower shop untuk menghabiskan waktunya sehari-hari.
Menghibur diri dari rasa kesepian- istilah yang beliau gunakan jika ku tanya kenapa repot-repot bekerja padahal bisa menghabiskan waktu bersantai di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingkat Dua
أدب المراهقينBagi Arunika yang tidak shining simmering splendid, berkenalan dan menjadi dekat dengan seorang Raditya adalah salah satu hal yang mustahil dalam hidupnya. Kehidupan tingkat duanya yang hanya diisi dengan kuliah dan pulang tepat waktu, lalu bergul...