Part 23 • Raditya

26.3K 3.2K 44
                                    

Satu dua ayam berkokok
Semoga selalu bahagia para reader yang udah support

Sayang kalean banyak-banyak ❤️

Belajar dari pengalaman, belajar dari kesalahan

***

Berhasil di atas kertas, tetapi gagal di tingkat realitas. Sebuah ungkapan sederhana yang bagiku cukup dalam maknanya.

Pernah mendengar pernyataan seperti itu?
Aku sendiri pernah mendengarnya, dan bahkan mungkin sedang mengalaminya.

Saat ini Hima sedang on process mengadakan satu mega proker dalam periode kepengurusan ku yang sebentar lagi akan demis. Dan sayangnya, apa yang telah aku dan teman-teman rencanakan tidak berjalan sesuai dan membuat kami mendapatkan sedikit masalah.

Ada perbedaan persepsi antara kami dengan pihak kemahasiswaan, yang sebelumnya tidak terlalu aku anggap serius kini justru menjadi boomerang. Perbedaan persepsi ini nyatanya tidak sesederhana yang dibayangkan dan bahkan membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk menyelesaikannya.

So, kami benar-benar harus bolak-balik ke ruang kemahasiswaan untuk menegosiasikan permasalahan ini. And fortunally, kesepakatan antara dua pihak akhirnya dapat terwujud dengan penuh perjuangan.

"Gila ya Bang, akhirnya kelar juga ini masalah." Reno berkata saat kami berjalan bersama setelah keluar dari ruangan.

Aku dan Reno, which is ketua panitia acara ini memang seminggu terakhir menjadi tamu tetap di ruangan berukuran sedang itu. Saking seringnya, Reno bahkan mengaku sudah hafal tata letak setiap barang yang berada di ruangan tersebut.

"Gimana? Kapok gak lo?" Aku sedikit menoleh ke arahnya, sembari terus berjalan menuju parkiran.

Tidak dipungkiri aku juga merasakan apa yang dikatakan Reno. Apalagi dengan jabatan ku sekarang, tentu setiap terjadi masalah pressure yang aku rasakan juga tidak dapat dikatakan ringan.

"Gak lagi-lagi udah gue. Mana Bu Desi galaknya kaya macan," Jawabnya sambil bergidik ngeri.

Aku hanya tertawa mendengarnya. Kembali membayangkan bahwa sebelum ini kami memang baru dibantai habis-habisan oleh Bu Desi karena permasalahan proposal. Dan ya, sebagai mahasiswa yang baik tentusaja kami berdua lebih banyak diam dan mendengarkan.

"Masa gitu doang udah kapok, No. Katanya taun depan mau gantiin gue?"

"Ngawur lo, Bang! Dapat kabar hoaks darimana lo?"

"Anak-anak tuh yang pada bilang. Gue denger aja."

"Jangan percaya rumor palsu Bang, gue jadi ketua panitia satu acara aja udah ketar-ketir gini."

"Ren!"

Reno berhenti melangkah dan menoleh ke arahku. "Kenapa, Bang?" Ucapnya sembari mengangkat kedua alisnya.

Aku berbalik dan menunjuk ke arah salah satu sepeda motor yang terparkir tidak jauh dari keberadaan kami. "Motor kita udah kelewatan."

Kulihat Reno menepuk dahinya. "Astaga! Abis dimarahin tadi gue kayaknya langsung linglung, Bang!"

Lagi-lagi aku tertawa mendengarnya. Reno memang anaknya seperti itu, tidak pandai memfilter kata-kata yang keluar dari mulutnya. "Ayo balik!" Ucapku sembari menepuk pelan bahunya dan melangkah maju menuju sepeda motor kami yang kebetulan parkir bersisian.

***

"Udah dimana, Dit?" Satria menanyakan keberadaan ku dari ujung telepon.

Aku masih duduk di atas jok motorku. "Ini baru nyampe banget njir! Sabar. Masih di parkiran!"

"Sialan lu nying.. gue udah lumutan nungguin lo dari jaman berburu meramu ini."

"Sori-sori. Gue baru ngurus yang masalah kemaren."

"Udah beres?"

"Ya gitu. Entar gue ceritain. Gue jalan kesono dulu bentar," Aku menutup telepon dan memasukannya ke dalam saku celana yang saat ini dikenakan.

Baru beberapa langkah aku berjalan, pemandangan di depan mataku benar-benar berhasil menghentikan langkah.

Sial!
Kenapa Ika bisa sama Bima.

"Bang bantuin!!!!" Tanpa terasa tanganku mengepal mendengar Ika berteriak memanggil Bima.

Kenapa nada suaranya tidak sama dengan ketika mengobrol denganku? Apakah mereka memang sedekat itu? Apakah mereka pacaran?

Berbagai asumsi buruk tiba-tiba berseliweran di dalam kepalaku.
Ya Tuhan, tarik napas... hembuskan

"Halo, Sat?" Aku kembali menelpon Satria.

"Lo udah nyampe? Gue sama anak-anak ada di pojokan. Nggak usah manja minta jemput!" Suara di seberang cukup ramai karena hari ini memang banyak anak tongkrongan yang ikut.

"Sat!"

"Ape nying? Nggak usah kaya cewek deh. Buruan sini tinggal lo doang yang belum dateng."

"Sat diem dulu gue mau ngomong!" Aku menekankan suara tanpa meninggikannya. Khawatir kalau-kalau dua orang yang berada tidak jauh dari posisiku akan mendengarnya.

"Gue gak bisa dateng, gak usah tungguin."

"Eh, gimana gimana? Bukannya lo udah di parkiran?"

"Tiba-tiba ada acara,"

"Acara apaan? Gak usah alesan ya lo!"

"Gue bukan lo ya. Gue emang punya banyak acara."

"Halah! Lo cuma sok sibuk aja."

"Terserah elo udah, terserah. Gue tutup dulu."

Mataku kembali fokus ke arah depan. Melihat bagaimana Bima membantu Ika melepaskan kaitan helm dari kepalanya.

Sialan! Darahku benar-benar mengalir tidak teratur.

"Ika!"

Ya, emosiku benar-benar tidak terkendali.

Tingkat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang