Part 4 • Arunika

52.6K 6K 259
                                    

Cara memulai adalah dengan berhenti bicara dan mulai melakukan

- Walt Disney -

***

"Semester berapa?" Tanyanya setelah obrolan kami sempat terputus.

"Tiga."

Dia manggut-manggut di balik kemudinya. "Angkatan 19 ya berarti?"

"Iya." Kemudian hening.

Bukannya berlagak cuek, tapi aku sungguhan tidak tahu harus mengatakan apa selain mejawab pertanyaannya barusan dengan jawaban seadanya. Otakku masih terlalu kaget mengalami kejadian langka seperti ini.

"Pendiem banget ya, Ka."

"Ha? Gimana, Bang?" Aku memastikan pertanyaannya karena tidak terlalu jelas.

Dibalik spionnya, Bang Radit kembali tertawa karena aku yang sedari tadi diajak mengobrol kerap tidak mendengar.

"Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangnya dengan intonasi yang lebih lambat.

"Enggak kok."

"Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka."

"Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabku jujur.

Bang Radit hanya mengangguk-angguk. Sayangnya aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa sekarang.

***


"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata."

"Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"

Astaga. Jiwa kepoku muncul di saat yang tidak tepat. Bisa-bisanya aku malah bertanya, yang sialnya merupakan pertanyaan yang terkesan ingin tahu saat kami bahkan belum satu jam resmi berkenalan. Arunika and her bubbling mouth memanglah hal yang tidak bisa diharapkan.

"Eh, sori Bang. Nggak usah di jawab nggak papa kok." Aku berusaha menunjukkan padanya bahwa bukan maksudku untuk ingin tau urusan-urusannya itu.

"Santai aja kali sama gue!" Dia menyunggingkan senyum lebar.

"Data gue kemaren nggak sengaja kehapus. Terus kemaren gue bawa kesini buat di pulihin. Eh, taunya abangnya bilang suruh ngambil sekarang. Soalnya besok ampe lusa mau tutup dulu. Jadi gue yang harusnya minta maaf malah karena ngajak lo nemenin gue dulu."

Aku menggeleng tidak sependapat dengannya. "Enggak kok. Lagian ini searah sama kampus juga kan. Jadi sekalian.

"Sip."

"Mau mampir sebelah bentar nggak? Kelas lo masih ada lima belasan menit. Dari sini ke kampus palingan nggak ada lima menit juga nyampe. Gimana?" Tawarnya sembari melirik ke arah pergelangan tangan kirinya, tepatnya ke arah sebuah jam tangan hitam yang bertengger manis disana.

Oke. Sesungguhnya aku ingin langsung mengatakan iya dari tawarannya barusan. Tapi mengingat jika aku tidak membawa uang seper pun, maka sepertinya dengan berat hati aku harus menolak tawaran menggiurkan yang hanya akan aku dapatkan sekali dalam seumur hidup ini.

Belum juga aku mengatakan tidak, Bang Radit sepertinya sudah terlanjur memahami apa yang sedari tadi membuatku banyak berfikir. "Gue yang traktir deh. Sebagai ucapan terimakasih karena udah nemenin ngambil flashdisk." Ucapnya sembari mengangkat sebuah flashdisk hitam untuk ditunjukkannya padaku.

"Yuk!" Lanjutnya sembari melangkah tanpa menunggu jawaban dariku terlebih dulu.

***


"Jadi praktikum apa nanti?"

"Metode Statistika."

"Masih ada emang matkulnya?" Jawabnya begitu enteng.

Aku tergelak mendengar penuturannya. Memangnya semudah itu menghilangkan sebuah mata kuliah?

"Masih lah, Bang." Jawabku sembari duduk dan menunggu minumanku selesai dibuat.

Sepuluh menit adalah waktu yang sangat sebentar jika ingin duduk dan mengobrol. Jadilah Bang Radit hanya akan membelikanku, dan kami akan segera meneruskan perjalanan menuju kampus.

"Emang bisa di ilangin?" Tanyaku karena penasaran.

Bang Radit hanya mengendikkan bahu. "Harusnya bisa sih... Nggak guna juga." Jawabnya sambil tertawa.

Aku benar-benar tidak menyangka jika dia akan menjawab seperti itu. Dalam bayanganku, orang seperti dia tidak akan mengatakan hal seperti apa yang dikatakannya barusan. Meski seratus persen aku menyetujui pendapatnya soal statistik, tetap saja kalimat 'nggak ada gunanya' masih terlalu tidak terduga akan keluar dari seseorang sepertinya.

Gila! Benar-benar di luar nalar.

"Nggak ada gunanya?" Beoku karena ingin memastikan apakah yang aku dengar barusan memang benar.

Dia mengangguk mantap. "Iya."

"Nggak setuju?" Tanyanya kemudian.

Aku menggeleng, lalu mengangguk. "Eh, setuju apa nggak nih, Ka?" Dia bertanya karena gerakan kepalaku tidak konsisten.

"Setuju, Bang." Akhirnya aku mengatakan setuju untuk pertanyaannya barusan.

"Sama dosen apa senior praktikumnya?"

"Dosen."

"Pak Anhar?"

Aku mengangguk mengiyakan. "Yah, harus rajin-rajin ya." Lanjutnya yang membuatku mengernyitkan dahi tidak paham.

"Maksudnya, Bang?"

"Suka ngadain kuis kan orangnya?"

Lagi-lagi aku mengangguk.

"Dadakan?" Aku mengangguk sekali lagi.

"Sabar-sabarin udah." Jawabnya lagi-lagi sambil tertawa.

Belum juga aku menimpali pertanyaannya, Bang Radit bangkit dari kursi dan berjalan untuk mengambil pesanan kami.


***

"Abang aselinya emang gini ya? Beda banget!" Aku menyengir lebar, berusaha bersikap santai seperti apa yang sedari tadi dia lakukan.

Di perjalanan menuju kampus ini, Bang Radit benar-benar banyak bicara padaku. Image nya yang sebelumnya pendiam, secepat kilat berubah menjadi tidak seperti itu. Ekspektasi ku padanya benar-benar terpatahkan hanya dengan berinteraksi dengannya kurang dari satu jam.

Dia tertawa geli. "Beda gimana?"

"Kelihatannya kaya pendiem gitu."

"Sering merhatiin ya?" Ucapnya dengan nada bercanda.

Astaga. Jantungku tiba-tiba seperti berhenti berdetak karena pertanyaan singkatnya barusan.

"Bercanda, Ka..." Lanjutnya yang diikuti dengan tertawa.

Sepertinya Bang Radit adalah tipe orang yang mudah senyum, bahkan kepada seorang stranger sepertiku.

Aku ikut tertawa kecil. Dia benar-benar tahu caranya membuat orang lain kembali merasa nyaman. Tidak heran sosoknya terlihat akrab dengan semua orang, dan baru-baru ini juga dipercaya civitas jurusan kami untuk mengepalai himpunan mahasiswa tahun ini.

Pembawannya santai, dan auranya benar-benar mampu mendominasi.

"Gue orangnya emang sering bercanda gitu kalo udah kenal, Ka. Kalo baru kenal, barulah pendiam kaya kata yang lo omongin barusan. Maklumin aja, ya!" Jelasnya lagi.

Aku terseyum menanggapi. "Lah emang gue bukan orang baru, Bang?" Aku berusaha melemparkan candaan agar obrolan kami tidak terkesan satu arah.

Bang Radit malah tertawa. Lalu secara tiba-tiba raut wajahnya berubah serius. "Sejak kapan kita jadi orang baru, Ka?" Dan entah kenapa satu balasan candaanku olehnya mampu membuat kerja organ jantungku tidak senormal seperti biasanya.

Tingkat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang