Beberapa tahun belakangan rasanya aku tidak pernah merasa begitu berterimakasih kepada orang lain selain ayah dan ibuku. Tapi sekarang, tanggal 25 September ini aku benar-benar ingin mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada saudara Bima yang kali ini sungguh sangat-sangat memahami keinginanku dengan baik.
Oke biar aku jelaskan terlebih dulu.
Setelah acara menonton film yang aku tidak ingat judul dan pemainnya itu, kami bertiga keluar dari pintu bioskop dengan saling diam antara satu dengan yang lain. Tidak ada yang mengatakan hal apapun, even tentang jalan cerita atau bagaimana pemain film tersebut beraksi seperti lazimnya setelah menikmati sebuah film.
Tiga orang ini benar-benar saling diam tanpa mengungkapkan sesuatu, karena aku sendiri jujur juga tidak tahu ingin membahas apa. Satu-satunya yang ada di pikiranku adalah bagaimana membuat Bima menyingkir dari kami. Bukan, bukan menyingkirkan dalam arti buruk maksudku. Aku hanya ingin menikmati waktu berdua dengan Ika, walaupun hanya berjalan bersisian tanpa saling bertanya.
"Dit," Tiba-tiba Bima menoleh ke arahku.
Aku meresponnya dengan menaikkan alis, "Ya?" Kulirik Ika juga memberikan atensinya kepada kami berdua.
"Boleh minta tolong ga?"
"Ya?"
"Gue baru inget kalo abis ini Amel minta jemput. Lo bisa kan anterin Arunika balik?"
Lucky you, Dit!
Dewi fortuna benar-benar sedang ada di pihakmu."Eh, Bang!" Ika justru yang dengan cepat merespon pertanyaan dari Bima. "Gue bisa balik sendiri kok kalo lo mau jemput Mbak Amel?"
Kontan aku menoleh mendengar pertanyaannya barusan. Kulirik Bima dengan hati yang terus berdoa semoga dia tetap memaksa Ika untuk pulang bersamaku.
Aku sendiri tidak mengeluarkan statement apapun karena enggan terkesan memaksa kehendak seseorang. Bagaimanapun aku sadar diri bahwa aku adalah orang baru dalam kehidupan Ika, meski tidak bisa juga dikatakan orang baru banget.
Bima tersenyum sembari memandang Ika. Astaga bung, sengaja banget jadi orang! Batinku sambil melotot ke arahnya.
"Pawangnya serem banget."
"Lo bilang apa, Bang?"
Dengan hati-hati aku mengacungkan jari tengahku pada Bima, yang hanya di responnya dengan tertawa tanpa peduli. Sialan!
"Gapapa Run, gue gak ngomong apa-apa."
"Gue tau kalo lo bisa balik sendiri. Cuma gue tadi nanya Radit katanya dia udah gak mau kemana-mana lagi abis ini. Jadinya daripada lo naik angkot atau gojek, lebih hemat nebeng sama orang ini kan?" Jelasnya sambil melirik ke arahku.
"Iya Ka, santai aja. Gue abis ini juga mau balik kok."
Kulihat Ika ragu-ragu untuk memutuskan. "Lagian arah balik kita searah, jadinya gak bakal ngerepotin!" Lanjutku sebelum Ika menolak karena alasan tidak mau merepotkan.
Terimakasih otakku yang cerdas karena sudah memikirkan alasan ini!
***
"Makasih, Bang." Ika mengangsurkan helm setelah turun dari boncengan motorku.Aku menerima helm darinya. "Sama-sama."
"Ika!"
"Bang Radit!" Aku refleks tertawa karena kami berdua bisa bersamaan saling memanggil nama masing-masing.
"Lo dulu, Ka!"
"Eh." Ucapnya dengan ekspresi yang sangat menggemaskan.
Aku sendiri masih bertarung dengan asumsi-asumsi di kepalaku. Apakah harus menyatakan apa yang diinginkan, atau memendamnya tanpa tau kapan lagi menemukan waktu yang tepat untuk merealisasikan.
"Abang dulu aja gapapa."
"Lo dulu, Ka."
"Abang dulu aja gapapa, gak penting-penting juga kok," Lanjutnya dengan menarik kedua sudut bibir ke samping kanan dan kiri.
"Gapapa, Ka. Lo dulu aja."
"Mmmmm... Cuma mau ngucapin makasih sekali lagi sama minta maaf karena udah ngerepotin Abang." Kulihat Ika menunduk entah untuk alasan apa.
Menggemaskan sekali, batinku yang ternyata ku ekspresikan dengan tertawa.
"Kenapa Bang? Ada yang lucu?"
"Nggak ada kok, cuma gemesin aja liat ekspresi lo,"
Astaga, cringe banget lo Dit!
"Jadi Abang mau bilang apa tadi?"
"Besok malem temenin makan ya. Gue jemput jam 7"
Akhirnya satu kalimat bisa meluncur baik.
"Ha?"
Aku menghembuskan napas lelah. Apakah Ika tidak menyadari jika aku sudah berusaha mati-matian untuk mengucapkan satu kalimat itu?
"Besok malem temenin Abang makan malem ya, Ika .."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingkat Dua
Novela JuvenilBagi Arunika yang tidak shining simmering splendid, berkenalan dan menjadi dekat dengan seorang Raditya adalah salah satu hal yang mustahil dalam hidupnya. Kehidupan tingkat duanya yang hanya diisi dengan kuliah dan pulang tepat waktu, lalu bergul...