[Part 42]

7.3K 1K 951
                                    

"Mas, minum dulu." Jino menoleh sebentar saat seorang wanita berstelan kerja menghampirinya sambil membawa segelas teh hangat.

Jino menghela napas, mengurut pangkal hidungnya sebelum kemudian bersuara, "aku udah ngga bisa selamatin pernikahanku sama Ambar, Ran."

"Mas," wanita tersebut duduk di sebrang kursi meja kerja Jino, Rania namanya. Dia adalah wanita yang dinikahi Jino karena terpaksa, ya terpaksa. "Mau aku yang coba bujuk Mba Ambar? Siapa tau--"

"Dia udah bulat sama keputusannya," Jino mengusap wajahnya dengan kasar, menatap wanita didepannya itu dengan sorot putus asa, "dia udah ada dititik akhir kesabarannya, dan aku terlalu bodoh nyepelein kemakluman dan kesabaran dia selama ini."

Rania meremat jarinya, "maaf, ini semua karena kesalahan ak--"

"Kesalahan kita berdua, Ran. Lebih tepatnya kebodohanku sendiri."

"Terus gimana Mas? Apa yang mesti aku lakuin supaya pernikahan kamu sama Mba Ambar ngga berakhir?"

Kedua mata Jino menatap wajah istri keduanya itu untuk beberapa saat, "aku ngga tau, tapi mungkin ada satu cara yang bisa membuka jalan buat aku perjuangin Ambar lagi."

"Apa Mas?"

"Pernikahan kita, Ran. Mungkin ini bakal terlambat, tapi aku bakal tetep ambil langkah ini."

"Mas--"

"Sebaiknya kita selesai aja ya Ran? Cerai."

Rania menggeleng lemah, kepalanya tertunduk lesu, "tapi Mas, aku--"

"Ran, aku mohon pengertian dari kamu. Sekarang, pernikahan aku sama istri aku udah diujung tanduk. Walaupun mungkin aku udah jawab dan mengiyakan permintaan dia, aku bakal tetep berusaha buat nyelamatin pernikahan aku sama Ambar, semampu yang aku bisa."

"Aku ngga akan ganggu usaha kamu buat perjuangin Mba Ambar lebih keras lagi, Mas. Aku ngga akan ikut campur apapun itu nantinya. Itu janji yang selama ini udah aku buktiin semenjak kamu memutuskan untuk menikahi aku."

"Ya, tapi--"

"Dulu, kamu sendiri yang menawarkan diri buat bertanggungjawab atas anak kita. Kamu menawarkan pernikahan yang mana hal itu sama sekali ngga pernah aku minta dari kamu sebelumnya, Mas."

"Aku udah berusaha nolak tawaran kamu. Aku udah bilang supaya kamu bisa lupain kejadian itu, aku bisa jaga anak aku sendiri, aku ngga perlu sosok laki-laki yang notabene nya udah jadi milik wanita lain, udah memiliki istri dan keluarga."

"Ran, tapi mau gimanapun dia tetep anak aku. Dia tanggungjawab aku. Status nya harus jelas dimata agama dan hukum."

"Maka dari itu Mas, dulu sebelum meng-iyakan tawaran menikah dari kamu, aku pertegas kalau aku cuma mau menikah satu kali seumur hidup dan perceraian hal yang ngga pernah aku inginkan dihidupku."

"Dan kamu inget apa jawaban kamu waktu itu? Kamu jawab dengan penuh keyakinan dan mengiyakan ucapanku. Tapi sekarang apa Mas? Kamu dengan seenaknya minta kita buat cerai? Kalau begitu, buat apa kita menikah dulu kalo ujung-ujungnya cuma selesai sampai disini?"

Jino merutuki kebodohannya dulu. Tidak, tidak, jawaban itu berasal dari Ambar yang menginginkannya menikahi Rania dengan sah dimata hukum. Hanya karena alasan status anaknya.

"Mas, selama ini aku ngga pernah ganggu waktu kamu sama Mba Ambar. Aku ngga pernah nuntut buat diperhatiin kamu, atau hal-hal lain selayaknya istri kepada suami. Aku selalu tau dan sadar posisi aku disini, Mas. Aku ngga pernah berekspekstasi lebih atas hubungan kita berdua. Permintaan aku kekamu cukup sederhana, aku cuma minta kamu sayangin Hages, seperti tanggung jawab yang udah kamu janjikan saat kamu mau nikahin aku. Cuma itu, Mas. Aku ngga pernah nuntut apapun dari kamu, mau itu nafkah lahir maupun batin. Kamu bebas menjalani kehidupan yang kamu mau, dan pintu rumah ini selalu terbuka saat kamu memutuskan pulang kerumah ini."

PUZZLE DESTINY [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang