IV. Pesan Kedua

333 44 12
                                    

Selasa, 29 Agustus 2017

-

-

Hari ini, langit sangat bersahabat dengan mahasiswa-mahasiswa Universitas Lima Dasar. Matahari yang mengumpat malu-malu di belakang awan seakan melihat bulan yang sedang memancarkan keanggunannya.

Di dalam sebuah kelas di kampus tersebut, terdapat seorang dosen yang sedang memperhatikan murid-muridnya mengucapkan penutupan dari presentasi mereka. "Sekian dari kelompok kami, jika ada yang ingin ditanyakan, kami persilahkan." Ujar satu anak dari kelompok murid-murid itu.

Sebuah tangan melayang ke atas, layu seakan tidak bersemangat. "Silahkan, apa yang- loh?" Ucap murid tersebut. Pemilik tangan tersebut adalah Taufik Hidayat, anak semester 5 yang sepertinya tidak memperhatikan dari tadi. "Saya mau tanya, proses di belakang produksi itu memakan waktu dan biaya yang lebih banyak-", "Taufik, kamu kenapa di kelas maba?"

Dosen di kelas itu segera memotong Taufik, bingung mengapa anak yang penuh pesona ini nyasar ke kelasnya untuk mahasiswa baru. "Sejujurnya, saya salah kelas pak, tapi tadi presentasi sudah mulai jadi saya tunggu, deh," senyum Taufik polos. Dosen itu hanya menghela nafas.

"Sebenarnya bapak mau marah, tapi waktunya sudah selesai jadi bapak nggak jadi marah. Untuk kelompok ini, sesi pertanyaannya diundur ke minggu depan, ya. Bapak ada meeting setelah ini." Ucap dosennya sambil membereskan buku-buku dan tumpukan kertasnya. "Baik, pak." Seru semua mahasiswa di dalam ruangan itu kompak.

Dosennya segera melangkah keluar meninggalkan murid-muridnya, meninggalkan Owi yang diam-diam menenangkan hatinya berdegup kencang melihat seorang Taufik Hidayat yang glowingnya tidak karuan. Ia melihat ke arah Taufik dari tempat ia memberikan presentasi serta penutup dan melihat Taufik beranjak dari kursinya.

Owi yang sedang memperhatikan Taufik berjalan ke luar kelasnya tiba-tiba merasakan sepasang mata yang kembali melihatnya. Dengan segera, Owi mengalihkan pandangannya dan berjalan ke arah mejanya untuk membersihkan mejanya yang penuh oleh buku tulis dan alat tulisnya.

Bergerak cepat, Owi menutup tasnya dan menggendong tasnya di pundaknya. Ketika ia maju dan menghadap ke depan, ia melihat sosok Taufik yang berada tepat didepannya dan menatapnya.

Cobaan macam apa ini, Owi menelan ludahnya gugup. "Permisi kak Taufik, aku mau keluar," ujar Owi sembari menunduk sedikit mencoba terdengar berani tapi sopan, walaupun sebenarnya ia hanya seperti berbisik ketakutan.

Ketika Owi bergeser ke arah kanan, Taufik ikut bergeser ke arah kanan Owi. "Nama kamu siapa?" Ujar Taufik kepada orang di hadapannya. Mendongak ke atas dengan sedikit ragu, Owi melihat mata Taufik yang sedang menatap dirinya dengan lembut, memberikan senyuman kecil.

Mengecutkan bibirnya, akhirnya Owi menjawab. "Tontowi, kak, tapi kakak boleh panggil Owi aja." Taufik menaikkan satu alisnya, lalu berkata, "Pasti semua temen kamu manggil kamu Owi." Orang didepannya mengangguk setuju.

Taufik merogoh sakunya dan mengeluarkan handphonenya kemudian menyodorkan handphonenya itu kepada Owi. "Boleh minta nomor hape kamu?"

Apapun yang keluar dari mulut Owi pada saat itu bukanlah yang Owi inginkan, melainkan reflek dari dalam dirinya. "Maaf kak, aku belum mau jadi babu kampus." Tangan Owi melayang ke mulutnya dengan cepat, "Eh, maksud aku-"

"Siapa mau jadiin kamu babu? Orang saya mau nomor kamu aja," tawa Taufik pelan. Owi melihat ke sekitar dan melihat beberapa kaum hawa dan beberapa kaum adam yang memperhatikan interaksi keduanya walaupun tidak dapat didengar. Owi mengambil handphone yang Taufik sodorkan dan memasukkan nomornya.

Ketika ia hendak memasuki namanya sebagai 'Tontowi', Taufik segera memberhentikannya. "Formal banget kalo kamu tulis 'Tontowi'," ujar Taufik sembari melihat adik tingkatnya itu menggigit bibir bawahnya inosen, "tapi kalau ditulis 'Owi', semua temen kamu pasti savenya itu."

Kating // The Daddies (Hiatus mau UKK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang