Mas Mantan (5)

2.5K 445 12
                                    


"dokter Bintang! Jangan bengong seperti orang yang tidak berguna di sini!"

Ini adalah hari pertama Bintang bertugas di rumah sakit darurat distrik paling ujung pulau paling timur Negeri ini, keadaan UGD yang begitu ramai di hari pertamanya bertugas tentu saja membuat Bintang syok.

Bintang sudah di beri peringatan untuk selalu sedia bahkan di keadaan tenang oleh dua orang senior, dokter Amel dan juga dokter Andreas, tentang keadaan darurat yang mungkin saja tiba-tiba datang, tapi tidak pernah di sangka Bintang jika suasana akan sericuh sekarang, pasien hilir mudik silih berganti, baik yang harus di rawat intensif hingga pemberian pertolongan pertama.

Bintang memang di tugaskan di rumah sakit Kota di Provinsi ini, tapi karena kekurangan tenaga medis di daerah mendesak ini, mau tidak mau sebagai dokter yang masih melalui masa intership sebelum mengambil spesialis, Bintang turut di tugaskan di tempat yang membuatnya terpaku karena tidak berhenti menerima pasien sejak Bintang datang.

Bagaimana tidak, tidak seperti di rumah sakit Kota dimana ada penyambutan atau perkenalan lainnya, Bintang hanya di kenalkan di mana dia bertugas, siapa mentornya, dan sekarang pasien datang tanpa henti ke UGD ini, menunggu diagnosa awalnya tanpa sempat memberikan kesempatan Bintang untuk menarik nafas.

Dan saat Bintang meluruskan pinggangnya dan menarik nafas, satu panggilan yang sedikit menyinggung perasaan Bintang dia dapatkan. Dengan wajah masam yang tertekuk dan bibir sedikit mendumal Bintang menurut.

"Nggak ada gitu proses adaptasi, langsung di suruh casciscus sama pasien yang dari buka mata sampai sekarang nggak berhenti-henti, sulit di percaya, di Negeri ini yang aku kira damai dan nyaman ada tempat di mana senjata di angkat lebih mudah dari pada beli jajanan."

Bintang kira dengan dia mengambil intership di pulau paling timur Negeri ini dia akan lebih mendalami pasien dengan suasana yang nyaman, tapi ternyata dia salah besar dalam perkiraan.

Semua yang terjadi di hadapannya benar-benar persis seperti yang Bintang lihat di film dokumenter tentang perjuangan tim medis yang berjibaku tidak berhenti merawat mereka yang menjadi korban di daerah konflik. Hal yang di pikirnya hanya ada di film kini di alami sendiri oleh Bintang.

"dokter Bintang, seorang prajurit dan seorang warga akan datang, luka tembak dan juga patah tulang, bersiap pertolongan pertama di UGD."

Bintang menghela nafas panjang mendengar rincian pasien yang akan datang, ya, ternyata rumah sakit darurat ini penuh sedari tadi dini hari karena ada serangan mendadak di distrik yang berjarak 10km dari tempat Bintang berada.

Bintang berdiri bersiap menyambut pasien di depan UGD, menyiapkan diri dan mentalnya untuk menghadapi hari-harinya yang sepertinya mulai detik ini tidak akan semudah pemikiran awalnya.

Hingga akhirnya yang di tunggu Bintang datang, sebuah mobil ambulance darurat berhenti tepat di depan pintu UGD, semua yang bertugas pun bergegas menangani kedua pasien yang datang di saat bersamaan tersebut.

Tapi seketika langkah Bintang terhenti saat melihat siapa pria yang mendampingi kedua pasien tersebut, seorang yang begitu di kenalnya, dan tidak pernah Bintang bayangkan akan bertemu dengannya lagi di tempat barunya bertugas.

Pria ini sudah jauh berbeda dengan yang Bintang ingat, dia bukan lagi pria berkulit bersih ala bintang iklan Korea, bukan lagi seorang anggota Paskibraka SMA yang merangkap sebagai ketua tim basket yang membuat para gadis-gadis menjerit saat dia memamerkan kemampuannya, tapi dia yang di lihat Bintang sudah menjelma menjadi seorang sosok pria dewasa Prajurit TNI yang berwajah keras, tegas, dan kulitnya yang terbakar sinar matahari, perubahan yang menunjukkan kedewasaan yang membuat Bintang tercengang.

Seberubah itu seorang yang ada di depan Bintang. Tuhan, kenapa dunia begitu sempit hingga setelah nyaris 10 tahun mereka kembali di pertemukan lagi di tempat tugas, gumam Bintang dalam hati. Masih tidak percaya dunia begitu sempitnya hingga mereka kembali bertemu lagi.

Berbeda dengan Bintang yang membeku hingga tidak bisa berkata-kata. Pria yang juga tidak menyangka akan menemukan Bintang di sisi timur Negeri ini masih lebih bisa menguasai keterkejutannya.

Jika di dunia ini ada orang yang begitu pandai menyimpan perasaan dan juga enosinya maka dialah orangnya.

Dengusan sebal terdengar dari pria tersebut melihat Bintang yang terpaku tidak percaya melihatnya ada di depan Bintang sekarang, tatapan sinis pun melayang dari mata tajamnya seiring dengan ucapan sinis yang terucap. Berpura-pura tidak mengingat, berpura-pura tidak saling mengenal.

"Di sini nggak butuh patung selamat datang! Kalau Anda tidak becus jadi dokter yang siaga, mending segera minggir!"

❤❤❤❤

Bintang pov

"Di sini nggak butuh patung selamat datang! Kalau Anda tidak becus menjadi seorang dokter yang siaga, mending segera minggir!"

Untuk sejenak aku terkejut mendengar kalimat ketus tersebut, tapi dengan cepat aku menguasai rasa terkejut atas ucapan ketus yang menyiratkan ketidaksukaan dan juga menyakitkan tersebut.

Aku hanya menyeringai melihat sikap pria tersebut. Tampaknya dia memang masih kesal padaku. Tanpa membalas ucapan tersebut, dan tidak ingin ambil pusing aku memilih berbalik dan bergegas menuju dua pasien yang baru saja datang. Dokter Andreas dan juga dokter Milly yang bertugas sedang sibuk di ruang operasi darurat karena ada trauma parah di tubuh pasien sebelumnya, hingga kini hanya aku yang bertanggung jawab pada UGD.

"Panggil dokter ortopedi yang bertanggung jawab untuk pasien patah tulang, Ners. Sementara itu segera bersihkan luka-luka yang terbuka, dan jangan lupakan untuk CT scan dua pasien ini." Perintahku cepat saat melihat kondisi tangan dan kaki dari pasien sipil yang aku lewati saat hendak memeriksa seorang pasien yang merupakan seorang prajurit TNI.

Aku bisa melihat raut wajah khawatir di diri pria ketus yang baru saja membawa pasien ini, was-was saat aku mulai memeriksanya.

"Tanda vital pada pasien?" Tanyaku pada perawat yang bertugas sembari menggunting kaos loreng itu cepat, memeriksa luka dari tembakan di bawah bahunya, nyaris saja tembakan itu menyasar jantung atau paru-parunya, cukup beruntung tembakan itu mengenai bawah bahunya, dan melihat kondisinya yang masih tersadar, aku tahu jika peluru tersebut tidak cukup tangguh untuk menumbangkannya, dia seorang prajurit yang hebat.
"Waaah, Anda benar-benar seorang prajurit yang tangguh, Pak! Nasib baik peluru tidak melubangi jantung dan paru-paru Anda, bahkan kesadaran Anda masih sepenuh ini." Pujiku padanya, pria yang aku perkirakan usianya sama atau bahkan lebih muda dariku ini tampak meringis saat ingin membalas pujianku. "Tetap tenang, Pak. Sesegera mungkin kami akan mengeluarkan proyektil di bahu Anda."

Aku meraih HT yang di berikan oleh dokter Andreas, alat komunikasinya karena jaringan internet sangat terbatas di sini. Menggunakan telepon konvesional sangatlah mahal dan merepotkan, maka HT lah yang di pilih.

Tepat setelah aku memesan kamar operasi dan juga melaporkan kondisi pasien pada Dokter senior tersebut, teguran dari pria ketus yang sejak tadi mengawasiku saat memeriksa pasien terdengar.

"Kenapa tidak segera mengeluarkan pelurunya? Kenapa harus di lempar kesana kemari sementara dia baru saja tertembak? Jika tidak bisa menjadi dokter yang cekatan, kenapa harus ada dirimu di sini!"

Aku menutup HTku dengan jengkel saat berbalik menghadapnya. Aku tahu jika dia mungkin tidak menyukaiku, tapi haruskah dia berbicara tidak masuk akal seperti ini terhadapku sekarang di ruang UGD.

"Rion, dengarkan aku baik-baik."

Mas Mantan (Complete On Ebook) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang