Teman Ceritaku

0 0 0
                                    

Aku pulang ke rumah dengan kalutnya pikiran yang ku bawa. Seperti tak punya sandaran, kembali lagi di bangku taman ini. Aku terisak di taman itu sendirian, aku merasa bodoh sekali. Tapi, hati ini tidak bisa dikendalikan sesuai keadaan. Aku tidak mau keadaan hancur dikendalikan hati. Salman menghampiriku dan memelukku.
“Kakak tahu kamu banyak pikiran, jangan mengelak dari Kakak lagi, ya!!” ujar Salman.
“Cerita!! Siapa tahu Kakak bisa bantu kamu,” desaknya. Aku mulai terpancing dengan desakannya dan lisanku tergerak kan untuk menceritakan masalahku pada Salman.
Aku ceritakan tentang Savas yang meninggalkan ku dan kejadian yang membawaku kembali ke Turki. Aku juga menceritakan tentang pernikahan yang tidak ku harapkan. Pernikahanku dengan dr. Izzam yang tidak lebih hanya untuk membahagiakan Ayah dan Bunda. Sebenarnya, aku masih menyusun teka-teki dari Savas dan Farihah. Aku mau mencari alasan dan kebenaran dari kejadian Savas meninggalkan ku. Aku selalu dihantui rasa bersalah setiap kali dr. Izzam memberikan cintanya padaku. Karena, aku tidak bisa membalasnya. Selama ini aku hanya bisa membalas cintanya dengan memberikan perhatian untuknya. Walau begitu, hatiku selalu menolak untuk memberikan ruang pada dr. Izzam. Air mataku terus berderai saat menceritakan setiap apa yang terpendam dalam hatiku dan menjadi beban dalam pikiranku.
“Kakak gak menyangka dibalik keceriaan yang selalu kamu tunjukan pada setiap orang ternyata, kamu menyimpan beribu penderitaan yang hanya kamu simpan sendiri,” ungkap Salman.
Aku menyeka tangis ku dan mengatakan,
“Kakak jangan cerita sama dr. Izzam ya!!!” pesanku memintanya menjaga semua yang telah ku ceritakan.
“Boleh, Kakak bantu kamu?” pinta Salman.
“Gak usah, Kak. Keyla cuma butuh tempat cerita aja udah cukup,” sanggah ku.
“Keyla tinggal dulu ya, Kak. Terimakasih udah mau mendengarkan cerita Keyla,” ucapku. Aku beranjak pergi ke kamar dan membersihkan diri lalu bersujud. Walaupun tidak ada tempat bersandar tapi, lantai selalu ada untukku bersujud. Terdengar oleh ku suara dr. Izzam yang khawatir menanyakan keadaanku pada Bunda dan Salman. Kemudian, aku keluar menemui dr. Izzam namun, Salman mengajak dr. Izzam ke taman. Aku bergegas menyusul mereka dan menghalangi Salman yang sepertinya berusaha menceritakan masalahku.
“Canım??!” panggilku berusaha menghentikan langkah dr. Izzam. dr. Izzam menoleh ke arah ku dan aku menemuinya, mengajaknya pergi bersamaku. Aku memberikan kode pada Salman untuk tidak berusaha menceritakan pada dr. Izzam.
“Kamu baik-baik aja, kan?” tanya dr. Izzam padaku.
“Iya, aku baik-baik aja,” jawabku.
“Kapan kita mau pindah ke rumah baru?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Secepatnya, Canım gak mau terus-menerus merepotkan Bunda dan Ayah,” jawabnya.
“Kita lihat rumahnya sekarang gimana?” tawar dr. Izzam. Aku menerima tawaran dr. Izzam untuk menghalangi Salman.
“Boleh, aku ganti pakaian dulu, ya?” jawabku.
“Canım mau dibuatkan minuman dulu?” tawar ku.
“Boleh,” jawabnya. Aku membuatkan minuman untuk dr. Izzam agar ia rehat sebentar sembari minum kopi.
Salman menemui ku di dapur, ia mengatakan agar aku tidak khawatir tentang ceritaku akan terbongkar pada dr. Izzam.
“Aku cuma gak mau banyak orang yang tersakiti dan juga kecewa karena, harapan dan juga semua yang telah aku sembunyikan, Kak,” jelas ku pada Salman.
“Iya, Kakak ngerti,” jawab Salman.
“Tapi, apa kamu mau menanggung semuanya sendiri? Apa kamu sanggup menanggung ini selamanya?” tanya Salman menyadarkan ku. “sedangkan hatimu menjerit meminta bersanding dengan harapanmu,” lanjutnya.
Aku tertegun dan sadar dengan semua yang dikatakan Salman pada ku. Tapi, aku gak mau ketika semua ini terbongkar keadaan akan kacau ditengah kebahagiaan Ayah dan Bunda. Aku juga sudah berjanji pada Adiknya dr. Izzam untuk belajar mencinta dr. Izzam dan melupakan masa lalu. Tapi, hati tidak bisa dipaksakan. Lisan bisa berkata iya tapi, hati tidak bisa dipungkiri. Aku pura-pura tak menghiraukan perkataan Salman dan pergi begitu saja meninggalkannya di dapur.
“Lama juga ya buat minum nya,” omel dr. Izzam. Aku hanya tersenyum menjawab omelannya. Aku beranjak bersiap melihat rumah baru dan memastikan kalau rumah itu siap ditempati esok. Aku berpikir kalau aku tidak selamanya bisa menghalangi Salman dan dr. Izzam berdua. Lebih baik aku cepat pindah agar Salman tidak punya waktu untuk menceritakan semuanya pada dr. Izzam. Aku berpamitan pada Bunda dan beranjak pergi bersama dr. Izzam. Selama perjalanan aku berpikir apakah aku salah telah menceritakan semuanya pada Salman. Pikiranku berhenti kalut saat aku mencoba fokus pada pembicaraan dr.Izzam.
“Mahbub, tadi kenapa tiba-tiba drop? Tiba-tiba pulang?” tanya dr. Izzam. Aku terdiam bingung mau menjelaskan apa dr. Izzam. Tidak mungkin aku menjelaskan kejadian yang ku lihat tadi. dr. Izzam menoleh, melihatku diam belum menjawab pertanyaannya.
“Iya, tadi ngerasa lagi gak stabil. Daripada mencelakai pasien lebih baik Mahbub menenangkan diri dulu. Biar cepat ngurus mereka lagi,” jawabku gugup.
“Mahbub lagi banyak pikiran?” tanya dr. Izzam.
Aku hanya diam saat dr.Izzam bertanya tentang itu. dr. Izzam melihatku diam dan terlamun.
“Kalau Mahbub belum bisa cerita tentang privasi Mahbub, gak apa-apa. Tapi, tolong hargai Canım sebagai suami Mahbubah,” jelas dr. Izzam. Aku yang mendengar penjelasan itu hanya berpikir, kalaupun manusia tidak memiliki hati. Aku pasti ceritakan semuanya tanpa khawatir orang lain akan tersakiti.
“Kita pergi ke toko bunga yuk!” ajak dr. Izzam.
“Kita pilih bunga yang mau ditanam di kebun kita nanti,” lanjutnya. Aku tertarik dengan ajakan dr. Izzam.
“Boleh, yuk!!” jawabku berbalik mengajak nya.
Sebelum sampai di rumah baru kami mampir dulu di sebuah toko bunga. Banyak sekali bunga yang indah dan masih segar. Aku meminta dr. Izzam agar aku saja yang mendekor kebun. Aku ingin kebun dipenuhi oleh bunga-bunga. Aku memilih bunga exalis plant, bunga lily, bunga Geranium, anthurium, lavender dan beberapa bunga yang lainnya. dr. Izzam mengatakan, kalau ia senang melihatku tersenyum. Aku sangat senang memilih bunga-bunga, walaupun sederhana tapi bisa membuatku bahagia.
“Mau kesini setiap hari?” tanya dr. Izzam. Aku terheran dengan pertanyaannya.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Biar kamu bisa tersenyum terus dihadapan ku,” ucap dr. Izzam.
“Gak harus gitu juga lah,” jawabku.
“Emang Mahbubah segitunya di mata Canım?” tanyaku pada dr. Izzam.
“Iya, senyum Mahbubah hilang semenjak menikah dengan Canım,” keluhnya. Aku tertegun dengan ucapan dr. Izzam. Ternyata ia menyadari sikap asliku, pikirku.

Cinta Kakak DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang