Aku Bisa Sendiri

2 0 0
                                    

Kesunyian terus saja menemani hingga kami sampai di rumah Umma. Tak terlihat kalau kami sedang saling diam. Berusaha bersikap biasa saja didepan keluarga dan segera mengemaskan pakaian dr. Izzam.
“Umma dan Ayah jangan lupa main ke rumah ya, itu juga kan rumah Umma dan Ayah,” ujarku pada mereka.
“Iya, Umma dan Ayah esok datang ke rumah,” jawab Umma. Terlihat dr. Izzam di ambang pintu yang sudah siap dengan barang di kedua tangannya dan berpamitan pada Ayah dan Bunda. Rumah kami tidak jauh dari Umma dan Ayah tapi juga tidak terlalu dekat dengan rumah Bunda. Sepanjang perjalanan menuju rumah, kami pun hanya diam tanpa berucap sepatah kata. Sesampainya di rumah terlihat Salman dan beberapa barang milikku di depan pintu.
“Sudah lama?“ tanya dr.Izzam yang baru turun dari mobil.
“Lumayan, sudah setengah jam,” jawab Salman.
“Dek, tadi Kakak sms kamu lo,” protes Salman.
Aku langsung mengambil handphone ku di tas dan mengecek. Ternyata benar, ada lima panggilan dan pesan dari Salman.
“Iya...,” gumamku menatap handphone.
“Maaf, Kak. Aku gak dengar handphone berdering tadi,” jelasku.
Kubuka pintu rumah dan semuanya terlihat sempurna sekarang. Aku tidak menganggap ini milikku sepenuhnya. Aku tahu diri dan tidak mau jatuh sewaktu-waktu badai menerpa. Salman meletakkan barang-barang dan langsung berpamitan pergi karena, langit semakin gelap.
“Langsung pulang?” tanya ku.
“Iya, nanti Bunda nungguin,” jawab Salman.
“Lagian sepertinya hawanya lagi panas,” lanjut Salman dengan menunjuk dr. Izzam.
Ku jawab dengan senyuman kecil dan mengantarnya ke depan.
Tanpa kata sedikitpun yang keluar dari lisan dr. Izzam dan aku. Aku menyusun barang-barang ku dan dr. Izzam tanpa peduli apa yang dilakukan dr. Izzam. Terdengar suara langkah mendekat padaku. Aroma makanan yang lezat membuat perutku semakin lapar. Namun, ego ku tak mau walau hanya menengok apa yang sedang dibuat dr. Izzam. Langkah itu semakin dekat dan sebuah tangan mengulurkan surat didepan mataku.
Aku berbalik badan menatap sang pemberi seuntai kertas. Tepat dihadapan ku dua mata menunduk menandakan permintaan maaf. Ku raih kertas itu dari tangannya dan ku baca dalam hati.
“Maaf.”
Sepatah kata maaf dari dr. Izzam yang menundukkan pandangannya. Aku tidak sekejam yang ia pikirkan. Aku tidak mungkin marah sampai tak mengenal waktu. Hanya saja aku kecewa dengannya, aku butuh waktu untuk meredakan kecewa itu.
Ku respon semua ucapan maaf dr. Izzam dengan senyuman dan kembali merapikan barang. Terlihat rasa penyesalan di wajah dr. Izzam tapi, ia bisa sabar menunggu kekecewaaan ku ini mereda. Sampai akhirnya, aku terjatuh karena pusing yang tiba-tiba menyerang kepalaku. Mungkin karena aku belum mengisi perutku dengan makanan. Aku duduk di kasur sebelahku dengan dibantu dr. Izzam. Seteguk air putih diberikan dr. Izzam untukku.
“Kita makan dulu, yuk!” ajak dr. Izzam. Aku mengangguk dan ikut bersamanya. Meja makan yang tadinya kosong tanpa hiasan kini menjadi seperti meja makan ala resto mewah nan romantis. Aku tak menyangka melihat makanan yang ada di depanku ini ternyata masakan dr. Izzam. Walau aku masih kecewa tapi, aku tidak melupakan tugasku sebagai seorang istri untuk melayani suamiku. Aku suguhkan makan di atas piringnya dan ku tuangkan minuman untuknya. Saat ku meletakkan segelas minuman untuknya tanganku tertahan oleh tangannya seraya ia berkata,
“Maaf kan aku, Mahbub,” pintanya dengan menyesal.
“Makanlah dulu!!” ujarku pada dr. Izzam dengan melepaskan tangannya dari tanganku.
Ku angkat piringku dan beberapa kertas tampak oleh mataku dengan kata "Maaf".
Aku singkirkan kertas-kertas itu tapi, tidak membuangnya. Karena, aku masih menghargai usahanya. Saat makanan aku santap ternyata rasanya lezat, bisa dikatakan sangat lezat. Aku melirik ke wajah dr.Izzam dengan tersenyum. Tapi, saat dr.Izzam menoleh melihatku, aku segera menarik senyumku. Aku ingin rasanya mengambil lagi makanan yang di masak dr. Izzam tapi, ego ku terlalu besar sampai menghalangi keinginanku.
“Aku ke taman duluan, Mahbub,” izinnya dengan beranjak pergi meninggalkan meja makan.
“He em..,” jawabku mengangguk.
Aku membereskan meja makan dan mengambil kesempatan ini untuk mencicipi lebih banyak makanan dr. Izzam. Aku menghampiri dr. Izzam di taman. Aku sudah sejak lama menunggu kesempatan untuk bicara berdua dengan dr. Izzam. Tapi, mungkin aku juga yang terlalu membatasi interaksi ku dengan dr. Izzam. Aku duduk di ayunan bersebelahan dengan dr. Izzam yang juga duduk di sebelah ku.
“Kenapa datang kemari kalau masih menyimpan kecewa untukku?” ketus dr. Izzam tanpa menoleh padaku sedikitpun.
Aku menghela napas panjang dan menjawab pertanyaannya.
“Apakah kekecewaan memaksa untuk meninggalkan kewajiban?” tanyaku balik.
“Kalau begitu, aku tidak akan pernah memberi ruang sedikitpun di dalam hati untuk rasa yang bernama kecewa,” lanjut ku dengan nada datar.
“Bukankah hal yang wajar? jika kecewa hadir setelah sesuatu yang dianggap baik menghinanya,” tanyaku.
“Aku tidak menyalahkan Canım karena, aku juga lupa kalau manusia itu tidak selalu baik dan tidak selalu buruk,” jelasku.
“Tapi, apakah Canım tidak bisa mengerti kalau perasaan ku pun hal yang manusiawi?” tanyaku.
“Aku mengerti dan coba memahami mu tapi, mungkin aku yang terlalu mencintaimu sehingga harapan selalu muncul bergantian dengan keinginan melihat orang tuaku bahagia,” ucapnya seperti ada sesal dan bersalah.
“Jangan terlalu mencintaiku yang tak bisa diharapkan,” ujarku menjawab penyesalan dan rasa bersalah dr. Izzam.
“Bukan aku yang menginginkan nya,” sahut dr. Izzam.
“Tapi, hatiku yang tidak bisa ku kendalikan,” lanjut dr. Izzam.
Allah yang membolak-balikan hati manusia, hanya kepada-Nya aku berharap kondisi ini bisa berubah sesuai dengan jalan yang kita inginkan, pikirku.
“Aku yakin semua yang ditakdirkan memiliki hikmah. Jangan lupa hanya Allah yang tahu mana yang baik untuk hamba-Nya, maka Ia lah yang tahu mana yang tepat untuk kita. Kita hanya tinggal menjalaninya dengan baik,” jelas dr. Izzam.
“Jangan meminta lebih!! karena, mungkin itu melebihi batas kemampuan kita,” lanjutnya yang kemudian berdiri menghadap langit.
“Aku juga tidak akan memaksamu untuk membahagiakan orang tua kita dengan caraku,” jelasnya.
“Bisakah kita saling beradaptasi satu sama lain dulu?” tanya dr. Izzam berbalik arah memandangku. Aku tersenyum mengangguk dan lega dengan ucapannya. Perasaan canggung ku berada di dekat dr. Izzam mulai berkurang setalah kata-kata itu terlontar dari lisannya. Aku menyambut uluran kedua tangan dr. Izzam dan kembali kedekapannya.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Kakak DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang