Taman Kehidupan

0 0 0
                                    

Kekhawatiran ku bisa terjeda sementara dengan mengurus taman dan rumah baru. dr. Izzam juga jadi jarang ketemu dengan Salman. Tapi, aku juga tahu kalau sebaik apapun masalah dan rahasia itu tersimpan pasti akan terbongkar juga.
“Gimana, Beymi? Udah selesai design taman kita?” tanya dr. Izzam menengok ke gambaran ku. Aku memberikan gambaran design ku pada dr. Izzam. Wajah dr. Izzam berubah dan alisnya naik sebelah. Aku pikir apa ada yang salah dengan design ku.
“Kenapa, Canım?” tanyaku yang tak mengerti dengan perubahan raut wajahnya.
“Ini design kamu? Beneran?” tanya dr.Izzam dengan nada datar tapi, sedikit mengejek.
“Iya, kenapa emang?” tanyaku.
“Ini design apa?!” bentak dr. Izzam tak suka dengan design ku.
“Design kok cakep benar,” lanjutnya dengan nada yang lebih senang. Ternyata sikap nya tidak lain hanya sebuah prank untuk mengerjai ku saja. Aku juga tidak percaya sih kalau dr. Izzam benar-benar jadi ketus begitu. Semua barang sudah ditempatkan di tempat nya. Rumah ini terlihat lebih indah dengan furniture-furniture yang ada. Aku benar-benar menjadi ratu di rumah ini. Karena, aku dengar dr. Izzam mencari teman untuk membantu pekerjaan ku mengurus rumah ini. Tapi, aku segera menghentikannya,
“Canım mau cari teman untuk membersihkan rumah?” tanyaku sembari membuat posisi disampingnya.
“Iya, biar Mahbub gak kecapekan,” jelasnya.
Aku terharu dengan niatnya itu tapi, kalau ada yang membantuku membersihkan rumah ini lalu, apa yang akan ku lakukan untuk berterimakasih atas hadiah rumah yang dr. Izzam dan Umma berikan? Pikirku. Aku mau rumah ini dirawat oleh tanganku sendiri sebagai bentuk terimakasih ku pada dr. Izzam dan Umma. Aku mencegahnya mencari teman bersih-bersih untuk ku tanpa memberikan penjelasan yang sesungguhnya. Karena, aku tahu pasti dr. Izzam menolak alasanku. Aku membujuknya sampai ia memenuhi permintaanku. Tak mungkin seorang dr. Izzam menolak permintaanku. Bel rumah berbunyi dan segera ku beranjak ke arah suara itu berasal.
“Umma?” ucapku terkejut tak percaya kalau Umma dan Ayah dr. Izzam datang mengunjungi rumah baru. Rumah yang di dalam nya masih belum lengkap perabotan rumah tangga. Hanya air putih yang menemani kami berbincang dan melihat-lihat rumah baru yang belum sempurna. Umma bertanya pada dr. Izzam kapan kami akan pindah ke rumah ini. Umma dan Ayah juga berharap di rumah ini tidak menjadi sepi karena hanya sepasang suami istri yang tinggal didalamnya. Mereka berharap ada suara tangisan bayi yang akan meramaikan suasana rumah ini kelak. Harapan mereka membuatku semakin terjebak oleh keadaan. Aku hanya tersenyum menjawab setiap ucapan, harapan dan doa yang terlontar dari lisan. Aku mengalihkan topik pembicaraan mereka dengan menunjukkan design taman yang akan aku buat di rumah ini. Lagi-lagi mereka mengharapkan sosok si mungil yang akan bermain di taman. Sepertinya topik apapun yang dibahas akan menuju ke harapan mereka untuk menimang cucu. Memang tidak salah tapi, aku saja belum siap untuk  melepas kerudungku di depan dr.  Izzam. Karena firasat dan harapanku masih besar untuk bisa kembali pada Savas. Hanya melukis senyum di wajah dua keluarga dan dr. Izzam lah alasanku menikah dengan dr. Izzam. Akhirnya aku menjawab keinginan mereka yang terus-menerus dibicarakan sejak tadi.
“Umma, Kiyomi dan kak Izzam kan seorang yang pasti akan di sibuk kan dengan pasien jadi Kiyomi takut kalau misalkan si mungil hadir tidak ada yang mengurusnya,” jelas ku mencoba merayu mereka untuk tidak terlalu berharap.
“Kan ada Umma dan Bunda kamu,” Kiyomi, jawab Bunda.
“Kiyomi gak mau merepotkan Bunda dan Umma. Apalagi kan Umma dan Bunda sudah semakin tua,” jelas ku dengan terus menolak keinginan Umma.
Bunda terdiam, aku pun merasa tidak enak mengatakannya tadi tapi, aku tidak ingin mengecewakan mereka jika aku dan takdir berkata lain. Aku tahu dr. Izzam terlihat murung karena harapan Umma dan Ayahnya tadi. Aku mencoba memberi penjelasan padanya untuk tidak memikirkan hal itu terlebih dahulu. Aku mengajak nya kembali ke rumah Bunda untuk mengemasi barang-barang yang akan dipindahkan. Aku mulai merasa takut jika berduaan dengan dr. Izzam, apalagi Umma habis mengatakan tentang si mungil. Sesampainya di rumah Bunda aku menceritakan pada Bunda tentang kedatangan Umma dan Ayah dr. Izzam ke rumah baru tadi. Kali ini firasat ku benar kalau Bunda pasti setuju dengan keinginan Umma dan Ayahnya dr. Izzam. Hmmm, aku salah curhat, batinku dengan menepuk jidat ku dan membulatkan bola mataku.
Aku sampai lupa kalau Salman masih mencoba bercerita pada dr. Izzam. Aku bergegas melihat keberadaan mereka. Lega kurasakan saat melihat dr. Izzam bersama Ayah. Aku mencari Salman yang ternyata ada di taman ditemani dengan gitar kesayangannya. Aku menyusulnya, ingin ku ceritakan tentang kedatangan Umma tadi pada Salman karena, saat ini hanya Salman yang tahu rasanya berada di posisiku. Mungkin orang baru dalam kehidupan keluargaku namun, sosoknya yang aku cari sebagai tempatku bersandar. Jari-jarinya berhenti memetik gitar yang ia pegang dan wajahnya beralih menatap ku.
“Gimana rumahnya?” tanya Salman padaku.
Sudah hampir sempurna, jawabku datar.
Wajahku yang mungkin terlihat bingung itu membuat lisan Salman bergerak.
“Kok biasa aja? Kayak gk suka gitu lagi?” tanyanya. Aku menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Salman. Lalu ku jelas kan kejadian di rumah baru tadi. Wajahnya mulai merespon ceritaku dan sesekali ia memotong ucapan ku untuk menjelaskan padaku. Namun, aku bukan penjelasan itu yang aku butuhkan. Salman semakin geram denganku yang keras kepala ingin menyembunyikan segalanya sendiri.
“Semua sudah sampai pada titik ini dan misalkan sampai pada titik yang lebih jauh lagi kamu pasti akan lebih tersiksa lagi, Dek,”  jelasnya padaku. Semua perkataan Salman memang benar, akankah aku bercerita yang sesungguh pada dr. Izzam? Tegakan aku menghancurkan kebahagiaan dua keluarga? pikiranku melayang. Kepalaku tersandar di bahu Salman dan tangan Salman mengelus kepalaku, menenangkan ku sampai aku tak merasakan air mata yang terus berjatuhan. Salman mulai memetik gitarnya lagi dan,
“Aku nyanyikan lagu mau?” tawar Salman.
Aku tak merespon tawarannya tapi, suaranya yang merdu membuat kepalaku beranjak dari bahunya. Lagu In My Blood - Shawn Mendes, lagu yang dinyanyikan Salman untukku. Lagu itu benar-benar tepat dinyanyikan untukku. Lagu itu bercerita tentang seseorang yang ingin menyerah pada hidupnya namun, ian menyadari bahwa masih ada yang membutuhkannya dan masih ada seseorang yang lainnya yang akan selalu ada disampingnya.

Cinta Kakak DokterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang