3. sesuatu yang tak disangka

419 90 12
                                    

Tepat jam sebelas menjelang siang ketika Sasu memarkirkan motor vespa antiknya di parkiran rumah sakit yang Nata sebutkan. Seakan tak mau membuang waktu, Nata segera turun dari boncengannya, melepas helm bogo di kepalanya, lalu menaruhnya asal pada jok motor Sasu.

Langkahnya tergesa, tertatih. Namun Nata tetap terus berjalan, terus mengayunkan kedua kakinya menuju bangunan di muka rumah sakit tempat Nao berada; instalasi gawat darurat. Tangannya tak berhenti memegangi dada kiri, tempat jantungnya bersarang. Di titik itu rasanya sangat sakit, sangat menyesakkan.

Saat ini bukan hanya jantungnya saja yang nyeri, hati dan perasaannya juga. Dia masih sulit untuk percaya ketika tadi menerima telepon dari nomor Nao, tetapi bukan suara sang Kakak yang menyapa telinganya. Seseorang di ujung telepon sana berkata jika Nao mengalami kecelakaan lalu lintas, menghubungi dirinya karena nomornya adalah nomor terakhir yang Nao hubungi. Setelah menghubungi kedua orang tuanya, dia dan Sasu segera meminta izin untuk meninggalkan sekolahan kemudian melesat menuju rumah sakit yang seseorang tadi ucapkan.

Melihat Nata yang sudah berjalan terlebih dahulu, Sasu mempercepat langkahnya mengimbangi setiap langkah gadis itu di sisi kanan. Ia menatap tanpa jeda sambil terus berjalan bersisihan dengan Nata, takut terjadi sesuatu padanya mengingat gadis itu memiliki riwayat penyakit jantung. Ia ... hanya khawatir. Khawatir yang berlebihan.

Sesampainya di depan IGD, sudah ada Harumi, Hiashi, beserta Naru yang bersiaga di depan pintu. Mereka sudah tiba lebih dulu, menunggui kabar dari Nao---yang sedang ditangani di dalam sana---dengan wajah-wajah berekspesi tegang dan cemas. Bahkan Harumi yang notabene ibu dari Nao dan Nata sudah berurai air mata sejak tadi.

"Astaga, Nata ..." wanita baya itu terhenyak ketika menyadari kedatangan putrinya yang satunya lagi. Ia menghapus kasar air mata di kedua pipinya, segera bergegas menghampiri Nata.

Secara refleks langkah Nata berhenti. Tubuh gadis itu sedikit oleng, tetapi Sasu dengan sigap menangkapnya, menahan kedua sisi bahunya sehingga Nata masih mampu mempertahankan pijakan kedua kakinya.

"Kamu nggak apa-apa?" Pertanyaan dari Sasu sarat akan kecemasan. Dan dibalas anggukan pelan oleh Nata.

"Aku baik." Nata menjawab selirih bisikan.

Dengan dibantu Harumi, Nata dipapah ke kursi tunggu bersama Sasu. Mendudukkannya di sisi Hiasi, ayahnya. Sedangkan Naru masih bertahan berdiri di sisi pintu, tak bergerak sama sekali dari situ.

"Apa yang terjadi? Gimana keadaan Kakak, Ma, Pa, Kak Naru?" Seraya memandangi satu persatu orang di sana, Nata bertanya.

Semua orang di sana tampak mengunci mulut mereka, sedangkan Harumi mendudukkan diri di samping Nata. "Kamu tenang ya, Nak. Kamu tidak boleh banyak pikiran, oke?"

Harumi berujar pelan-pelan. Tentu ia tidak ingin hal yang terjadi saat ini semakin membebani pikiran putri bungsunya. Ia lebih dari sekedar tahu bagaimana kondisi kesehatan jantung Nata.

"Kakakmu mengalami kecelakaan saat menuju ke gedung Meijiza."

Namun, nyatanya Hiasi justru mengungkap apa yang terjadi begitu saja. Kedua tangannya terlihat saling meremat di atas pangkuan ketika memutar kepala pada anak gadisnya. Menurutnya, percuma saja menunda-nunda memberikan penjelasan pada Nata. Toh, pada akhirnya Nata akan tetap tahu apa yang terjadi pada Kakaknya. Sedangkan Nata terlihat semakin menekan dada kirinya.

"Khh!" Satu lirihan lolos dari celah bibir gadis itu ketika nyeri di dadanya semakin terasa. Hal tersebut berhasil menarik rasa khawatir Sasu semakin bertambah kadarnya.

"Kamu baik-baik aja, Nat?"

Nata mengagguk sebagai jawaban, meskipun raut wajahnya semakin pucat. Ia mencoba menahan rasa sakit, demi sang kakak. Setidaknya bukan sekarang waktu yang tepat untuk anfal.

HEARTBEAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang