21. sesuatu

287 80 28
                                    

"Yap, sudah oke. Syuting untuk hari ini cukup sampai di sini." Naru tersenyum puas menatap layar periksa kamera di depannya. Para pemain sudah mulai membubarkan diri, namun dia memilih untuk tetap bertahan di kursi sutradara miliknya.

"K-kak ..."

Secara otomatis Naru menoleh saat seseorang memanggilnya. Dan pria itu mengernyit saat tahu jika orang itu adalah salah satu aktrisnya; Ameno.

"Ya, Am. Kenapa?"

Gadis berparas ayu itu tampak gelisah, bola matanya bergerak-gerak. Ameno sedang menyusun kalimat di dalam angan. "Anu ... bisa nggak scene yang tadi diulang? Saya ngerasa kalo acting saya kurang maksimal tadi."

"Masak sih? Udah bagus loh ini." Kernyitan halus di dahi Naru semakin dalam, "Tapi semisal kamu ngerasa bisa beracting lebih bagus lagi dari ini, ya udah habis ini kita re-take. Gimana?"

Namun, bukannya menjawab Ameno justru terdiam. Gadis itu terpaku menatap leher Naru. Ekspresi malu-malu itu lenyap dalam waktu sekejap, berganti terkejut dan ... sedih?

"Kenapa kamu ngelihatin saya begitu?" Tanya Naru tidak mengerti. Ditatap seperti itu membuat dia kurang nyaman.

"L-leher kakak."

Secara spontan Naru menyentuh lehernya, dia masih belum paham apa maksud gadis yang berdiri di depannya. "Leher saya kenapa?"

"A-ah, nggak apa-apa." Tetapi Ameno justru meralat sendiri ucapannya. Nada suaranya terdengar semakin kikuk, dengan tatapan mata bergetar. "K-kalau Kak Nardo udah ngerasa acting saya bagus, ya udah. Saya permisi." Lalu dia membungkuk satu kali sebelum akhirnya beranjak pergi.

Dan di detik berikutnya, Kiba datang menghampirinya.

"Kenapa si Ameno?"

"Entah." Naru hanya menaikkan kedua bahunya ringan. Salah satu tangannya merogoh ponsel di saku celana, sekedar mengecek barangkali ada pesan yang masuk di sana.

Dan dugaannya benar, ada satu pesan yang belum terbaca dari kekasih barunya. Senyuman pria itu merekah sempurna ketika membacanya, meskipun pesan yang terbaca hanyalah sebuah ucapan sesederhana, 'Jangan lupa makan siang'.

Terlarut dalam dunianya sendiri, membuat Naru tidak sadar jika Kiba masih saja memperhatikannya sejak tadi. Sepertinya asisten sutradaranya itu menemukan sesuatu yang mencurigakan di leher Naru ketika pria berdarah Jerman itu sedang asyik dengan ponselnya. Dia menaikkan salah satu sudut bibirnya, tersenyum miring saat benaknya memikirkan suatu jawaban kenapa wajah Ameno tiba-tiba berubah muram.

"Pantas aja. Kayaknya kamu baru aja ngelewatin 'malam panas' sama pacar kecilmu itu, hm?"

"Malam panas apaan sih? Ngaco kamu, Kib." Naru menjawabnya dengan tertawa, masih tidak mengalihkan perhatiannya dari ponsel di kedua tangannya. Kiba memang sudah tahu kalau dirinya sekarang sudah kembali menjalin hubungan asmara dengan Nata, dia sudah menceritakannya tempo hari.

"Ngaku aja deh, Nar. Kiss mark di leher kamu itu menunjukkan fakta."

"Ap---!" Seketika itu Naru mengangkat dagu. Ucapan Kiba membuatnya terlonjak. Tangan kirinya menyentuh lehernya kembali dengan tawa gugup, menyentuh titik yang memang sedikit terasa nyeri di sana. "Astaga! Ini benar-benar nggak kayak apa yang ada di pikiranmu, Kib."

"Udah, nggak perlu malu. Kalian sama-sama dewasa, kalau pacarmu hamil, tinggal tanggung jawab aja. Apa susahnya?" Kiba bersedekap menatap sang sutradara. Tentu saja pria itu lebih percaya dengan pemikirannya sendiri berdasarkan fakta.

Sedangkan Naru kembali tertawa ringan, membiarkan Kiba berpikir sesuka hati. Yah, percuma saja dia menjelaskan panjang lebar, asisten sutradaranya itu tidak akan mudah berubah pikiran. Dia tahu itu.

HEARTBEAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang