15. mungkinkah

321 82 29
                                    

Pernahkah kamu merasa sangat ingin bertemu dengan seseorang sampai rasanya susah tidur, bahkan tidak enak makan?

Jika iya, berarti apa yang kamu rasa sama persis dengan yang Naru rasakan saat ini. Terhitung sudah tiga hari setelah pertemuan terakhirnya dengan Nata, mulai detik itu pula pria itu tidak ada hentinya memikirkan gadis itu, entah bagaimana.

Awalnya Naru mengira jika hatinya telah mati semenjak kepergian Naori, namun nyatanya dia salah. Karena sekarang dia mampu merasakan lagi debarannya, meskipun dengan sekuat tenaga dia menyangkal segala rasa.

Dia tidak mungkin jatuh cinta dengan semudah itu, kan? Apalagi pada Nata yang notabenenya sudah dia anggap sebagai adik kandung selama dirinya menjalin hubungan asmara dengan Nao, bertahun lamanya.

Handuk putih masih setia membalut bawah pinggangnya. Rambut pirangnya pun masih tampak lembab, sepertinya Naru baru saja selesai keramas. Dengan handuk lain yang dia gunakan untuk mengeringkan helai rambutnya, pria itu terlihat mondar-mandir di dalam kamar. Wajahnya yang rupawan tampak gusar.

"Sial! Kenapa aku terus-terusan mikirin dia?!" Naru berteriak tertahan, frustrasi. Dia menarik kasar handuk di kepala lalu melemparkannya asal ke permukaan ranjang miliknya.

Pria itu berkacak pinggang menatap ponselnya yang teronggok di atas nakas sebelah ranjang dengan pikiran bercabang.

"Apa yang harus aku lakuin sekarang? Kenapa bayangan Nata nggak mau hilang?" Lagi-lagi bibir tipisnya meracau bertanya, entah pada siapa.

Setelah berpikir sekali lagi akhirnya dia memiliki sebuah keputusan. Dia meraih ponsel pintarnya, dengan gerakan lincah jempolnya mengetikkan sebuah nama pada pencarian kontak telepon di sana.

"Ayolah, Naru. Berpikirlah bahwa kamu bersikap begini karena Nata adalah seorang adik bagimu." Gumamnya sebelum menempelkan ponselnya pada daun telinga.

Dan tidak perlu menunggu waktu yang begitu lama, panggilannya terangkat, disusul masuknya suara feminin ke dalam telinganya.

"Halo, Kak?"

"Lagi apa? Sibuk?"

"Lagi nonton tv, Kak. Sibuk ngunyah." Suara tawa gadis itu terdengar sesaat, lalu dia kembali berucap di seberang telepon sana, "Kenapa?"

"Kamu ... ada waktu nggak malam ini?" Tanya Naru setelah berpikir singkat. Pria itu mendudukkan dirinya pada tepi ranjang dengan sebuah senyuman. Kembali mendengar celotehan Nata membuat dirinya merasakan ketenangan tak terduga.

"W-waktu? M-maksud Kak Naru?"

Suara Nata terdengar ragu dan tidak percaya di gendang telinga Naru. Yah, pria itu memakluminya sebab sebelum ini dia memang belum pernah mengajak Nata keluar berdua, selalu ada Nao di antara mereka.

"Kakak mau ngajak kamu keluar sebentar."

"Apa?!" Nada bicara Nata kentara sangat terkejut menyapa telinga Naru.

Ah, Naru baru sadar jika apa yang dia ucapkan tadi mirip ajakan berkencan, padahal bukan itu tujuannya---meskipun Naru sendiri pun belum tahu apa tujuan dia mengajak Nata keluar rumah. Dia hanya ingin bertemu, itu saja.

"Tentu aja bukan kencan, jangan berpikiran begitu." Ralatnya kemudian, menyangkal pemikirannya sendiri.

"M-mana mungkin Nata berpikiran kayak gitu, dasar!"

Naru tertawa, otaknya secara cepat mencari sebuah alasan yang menurutnya logis untuk dia katakan pada Nata.

"Begini, Kakak cuma mau minta pendapat kamu buat milihin hadiah buat si Kiba. Asisten sutradara Kakak itu akan berulang tahun besok, dan Kakak bingung mau ngasih apa sebagai kado."

HEARTBEAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang