4. nyaris serupa

382 84 17
                                    

Linglung. Nao tidak pernah menyangka akan bernasib seperti ini. Padahal karirnya sedang bagus-bagusnya, namun malapetaka malah dengan kejam menimpa dirinya, menghancurkan segala mimpi yang ia bangun semenjak masih balita. Kehilangan fungsi kedua kaki, artinya mau tidak mau ia harus merelakan karir menarinya berakhir cukup sampai di sana.

Hatinya belum juga merasa lebih baik meskipun di sisi ranjangnya Naru dengan setia menggenggam tangan kirinya, menciumnya kadang-kadang. Kedua calon mertuanya baru saja datang, mereka berdiri di sisi lain ranjang, menatap dirinya dengan simpati. Sejujurnya, Nao paling tidak suka dikasihani.

"Gimana keadaan kamu, Nak?" Kushina, sang calon ibu mertua bertanya mengawali pembicaraan. Suara wanita itu begitu lembut, penuh kasih sayang.

"Nao baik, Ma." Mau tak mau, Nao memaksakan sebuah senyuman untuk memberikan respons pada pertanyaan calon ibu mertuanya, mengingkari apa yang ia rasa.

"Jangan bersedih, ya ... Mama sama Papa juga akan membantu Naru mencarikan dokter paling bagus untukmu." Kushina balas tersenyum, membelai singkat rambut Nao. Meskipun Nao masih mampu melengkungkan garis bibirnya ke atas, namun Kushina sangat tahu sekacau apa perasaan calon menantunya. Ia tidak tega melihatnya.

Tentu saja Kushina serius dengan apa yang ia ucapkan. Setelah dari rumah sakit ini, ia berencana untuk segera mencari info sebanyak mungkin tentang dokter-dokter hebat yang mungkin ia atau suaminya kenal. Hanya memiliki seorang anak tunggal membuat Kushina menginginkan memiliki seorang anak perempuan, dan sosok Naori bagaikan putri kandung baginya. Mereka sudah begitu dekat, saling menyayangi. Bahkan hubungan ia dan sang calon mantu lebih dekat jika dibandingkan dengan hubungan dirinya dan Naru---yang merupakan anak kandungnya.

"Terima kasih." Melihat ketulusan calon ibu mertuanya, air mata gadis itu mengalir lagi. Namun Naru segera menghapusnya, kemudian mempererat genggaman tangannya. Ketika Nao balik menatapnya, pria itu memberinya senyum menenangkan, senyum teduh yang seakan mengandung arti bahwa semua akan baik-baik saja.

Sungguh, Nao benar-benar merasa beruntung memiliki pria seperti Naru di sisinya. Seorang pria yang masih tetap bertahan di sisinya meskipun kini ia sudah tak lagi menjadi perempuan yang sempurna.

"Mama Papa kamu di mana, Nak?" Manfredo yang sejak tadi hanya memperhatikan, kini memberikan pertanyaan. Pasalnya sejak ia datang hingga detik ini, kamar perawatan calon mantunya terasa sepi.

"Sepertinya tadi ada di depan, Pa." Naru yang menjawabnya, mewakili Nao. Dan tak berselang lama, suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian mereka. "Ah, itu Mama Harumi ..." lanjutnya.

Sosok Harumi memasuki ruangan perawatan Nao dengan raut wajah kacau. Wajah yang biasanya tampak bersahaja itu terlihat diliputi duka. Ketika kedua mata wanita baya itu menangkap sosok calon besannya, ia segera mengubah mimik muka.

"Kushina, datang sejak kapan?" Tanyanya seraya berjalan menghampiri.

"Baru beberapa menit lalu. Hiashi mana?"

"Dia ada di depan, maaf baru sempat menemui kalian."

Kushina tersenyum maklum, menyentuh salah satu bahu calon besannya. "It's okay, tenangkan dirimu, Harumi."

Harumi mengangguk. Ia mengalihkan atensinya pada putri pertamanya. Seingat Harumi, terakhir kali ia meninggalkan Nao sebelum Nata tak sadarkan diri, putrinya ini masih belum terjaga. "Ah, gimana perasaan kamu, Nak? Ada yang sakit?"

"Sudah nggak terlalu, Mama." Nao menjawab dengan suara lirih, bibir pucatnya kembali ia paksa mencipta senyuman. "Nata mana? Kenapa dari tadi Nao nggak lihat dia?"

Harumi tidak langsung menjawabnya, butuh waktu beberapa detik untuk mengungkap keadaan sang putri bungsu pada Kakaknya. "Nata ... anfal."

"A-apa?" Mata jernih gadis itu memburam seketika, air mata sudah lebih dulu menghalangi pandangannya, seiring hatinya yang terasa diremas tangan tak kasat mata. Hari ini ... merupakan hari paling buruk baginya.

HEARTBEAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang