5. sesuatu yang telah terjadi

384 78 24
                                    

Beberapa piagam penghargaan dan berbagai bentuk piala yang terpajang di dalam lemari kaca hanya akan menjadi kenangan bagi Nao, sebagai simbol jika dirinya pernah memiliki bermacam prestasi di dalam dunia tari-menari, dunia yang telah membesarkan namanya. Nao menatap semua itu dengan tatapan hampa, sebab ia tahu jika puncak kejayaannya kini telah habis tak bersisa.

Setelah menghela napas panjang satu kali, kedua tangannya kembali memutar roda di sisi kanan dan kiri kursi roda yang ia duduki, menggerakkan tempat duduk beroda yang hampir dua minggu ini menjadi teman akrabnya menuju meja rias tempat yang beberapa hari ini ia gunakan untuk merias wajah di kamar barunya. Setelah tidak lagi bisa berjalan, ia pindah kamar ke lantai dasar.

Dari laci yang berada di sisi kiri, tangan kanan kurus itu meraih sebuah album foto yang tampak usang di makan usia. Sebuah album foto khusus yang berisi segala potret ketika dirinya sedang berlatih menari semenjak masih belia.

Air mata itu mengalir lagi, entah untuk yang ke berapa kali. Lembar demi lembar ia telusuri dengan pandangan memburam, dengan segala memori indah ketika kedua kakinya masih berfungsi secara normal. Musik orchestra yang sengaja ia putar menambah rasa perih di dalam hatinya, musik yang dulu sering kali mengiringi tariannya.

Ia memang selalu berusaha terlihat tegar dan baik-baik saja setelah keluar dari rumah sakit hampir seminggu lalu. Ia masih mampu mengukir senyuman palsu, namun percayalah ... Nao tidak sekuat itu. Ia frustrasi, namun selalu menyembunyikannya dari orang-orang yang ia sayangi. Semakin merasa putus asa ketika mengingat kondisi sang adik yang saat ini masih dirawat secara intensif di rumah sakit tempat ia dirawat kala itu.

"Sedang apa, Nak?"

Nao segera mengahapus lelehan air mata di kedua pipinya ketika suara halus sang ibunda terdengar di telinga. Ah, ia lupa tidak menutup pintu kamarnya.

Nao sedikit berdeham untuk membersihkan kerongkongannya, agar suaranya tidak terdengar sengau. Ia tidak ingin sang ibu merasa khawatir, maka ia berusaha mengukir senyum kecil. "Cuma lagi lihat-lihat album foto lama, Ma."

"Kamu baik-baik saja?" Harumi sudah berada di sisi Nao sekarang, menyentuh lembut salah satu bahunya, membuat Nao mendongak mempertemukan tatapan mata.

"Aku ... aku cuma lagi kangen menari." Ungkapnya, masih berusaha mempertahankan senyuman.

Dan senyum itu menular dengan cepat pada kedua belah bibir ibunya. Senyum pedih yang mampu Nao artikan, senyum yang sama sekali tak pernah ia sukai, senyum yang semakin menggores luka di hati.

"Ah, apa Naru udah datang?" Nao memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Ia menutup album foto di atas pangkuannya, kembali menaruhnya ke tempat semula.

"Baru saja, makanya Mama kemari." Senyum pedih itu perlahan lenyap ketika menjawab pertanyaan putri sulungnya. Nao berhasil memperbaiki suasana. "Kamu sudah siap untuk pergi sama dia?"

"Sudah." Kali ini senyum Nao tampak tulus dari dalam hati. Setidaknya masih ada satu alasan untuknya merasa bahagia, tentu karena adanya sosok Naru di sisinya.

"Mama antar sekarang, ya?"

Nao mengangguk, dan setelah itu Harumi segera mendorong kursi roda putrinya dari kamar menuju ruang tamu tempat sang calon menantu telah menunggu.

"Nao senang sekali, impian untuk menikah sama pria yang Nao cintai pada akhirnya akan segera terwujud." Gumaman Nao sarat akan rasa bahagia, membuat Harumi tak pernah mampu melunturkan senyumannya. Ia lega. Nyatanya hal buruk yang terjadi, tidak membuat putri sulungnya merasa depresi.

"Kamu beruntung, Sayang. Kamu mendapatkan seorang yang begitu tulus cinta sama kamu."

"Bahkan Nao akan tetap merasa bahagia seandainya tidak jadi menikah sama dia." Ucapan Nao serupa bisikan ketika hampir sampai di tempat tujuan, ketika kedua matanya telah menangkap presensi calon suaminya. Bisikan lirih itu tak sampai ke telinga Harumi, seakan gadis itu sedang berbicara pada dirinya sendiri.

HEARTBEAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang