12. the yellow and the blue

403 73 8
                                    

Itu adalah langit sore yang berubah mendung di atas kepala kala mereka melakukan agenda jalan-jalan kecil di taman, melihat sekumpulan bunga warna-warni yang mekar, dan seperti biasa, Beomgyu mendengarkan kicauan Ryujin tentang harinya.

Yang perempuan mengusulkan agar mereka cepat kembali sebelum ada rintik yang jatuh ke bumi, yang laki-laki tak punya opsi apapun selain menuruti. Ia jelas belum puas, namun mulutnya bungkam dari protes kendati gadis itu bisa membaca dengan gamblang raut cemberutnya; ia belum berkenan kegiatan mereka berakhir.

Mereka melangkah beriringan memasuki gedung apartemen. Dan selepas melihat gurat-gurat kecewa yang disembunyikan lewat helai-helai rambut yang memanjang, hati Ryujin tergerak untuk mengajak Beomgyu mampir ke kediamannya, alih-alih melanjutkan obrolan mereka di kamar Beomgyu yang kelewat familier. Laki-laki itu langsung setuju tanpa pikir panjang.

Ibu Ryujin tidak pernah berpikir kalau akan ada momen di mana Beomgyu akan mampir. Sepengetahuannya, si bungsu Choi itu dilarang keluyuran keluar oleh sang ibu. Beliau terkejut, berasumsi keduanya sengaja menyelinap diam-diam⸺mengira putri bungsunya yang punya ulah, tetapi usai menguraikan bahwa mereka memiliki izin dari Yeonjun, ekspresinya lekas melunak.

Ia menyambut Beomgyu dengan penuh sukacita dan senyum cerah, meminta mereka untuk menunggu kue bikinannya yang sedang dipanggang di oven. Beomgyu pikir, ia tahu dari mana senyum Ryujin berasal setelah melihat bagaimana ibu Shin bersaudara itu melengkungkan bibir.

Ryujin sesungguhnya tidak punya ide tentang apa yang harus mereka lakukan. Rasanya aneh, menemukan dirinya menghabiskan waktu dengan Beomgyu di rumahnya⸺di petak kamarnya yang biasa ia tinggali seorang diri, bukan di ruangan yang penuh seperangkat konsol gim dan tumpukan komik. Bukannya ia menyesali ajakannya, tentu saja tidak, ia cuma merasa bingung⸺memutuskan kegiatan apa yang mesti mereka kerjakan tidak pernah sesulit ini jika dilakukan di tempat yang biasa. Ia tak punya banyak hal untuk ditawarkan pada Beomgyu di kamarnya.

Si gadis Shin sadar ruangannya tidak dalam keadaan cukup rapi setelah nyaris menginjak sekotak besar bersekat yang dipenuhi manik-manik berbagai macam warna dan bentuk, bersama gulungan tali bening dan gunting di atas karpet bulunya. Mereka sudah berada di sana sejak kemarin malam, ketika Ryujin sedang bersemangat mengikuti tren membuat aksesori dari manik-manik.

Semua orang tampaknya menyenangi tren baru yang satu ini, mengingat hampir semua teman-temannya mengisi waktu luang dengan menguntai manik-manik berwarna-warni untuk dijadikan aksesori lucu. Ryujin berhasil membuat beberapa kemarin, yang salah satunya ia berikan pada sang kakak.

"Aku tidak mengira akan melihat banyak warna krem dan putih di sini."

Beomgyu bersuara saat Ryujin muncul di ambang pintu bersama sepiring penuh kue kering dan dua gelas susu hangat di atas nampan. Bibir gadis itu menjepit sepotong yang telah tak lagi utuh, agaknya ia tidak sabar mencicip lebih dahulu waktu di dapur. Laki-laki itu memperhatikan bagaimana yang perempuan menggunakan sebelah kakinya untuk mendorong pintu, ia terkikik pelan.

Nampan itu diletakkan di meja samping kasurnya, salah satu gelas diangkat untuk diberikan pada yang laki-laki. Ryujin mengunyah habis kue yang tersumpal di mulutnya. "Supaya mudah mengatur dekorasinya. Memangnya kau pikir kamarku akan terlihat seperti apa?"

Laki-laki itu menerima gelasnya sembari mengucapkan terima kasih. "Entahlah, mungkin biru di sana-sini? Kau cocok dengan warna itu, omong-omong." Ia menjulurkan tangan untuk mencuri sepotong kue dari piring, mencelupkannya ke dalam gelas susu.

"What's that supposed to mean?" Ryujin mengistirahatkan bokongnya di atas karpet, memiringkan kepala pada laki-laki yang duduk di kasurnya yang rendah. Kaki terbenam di antara bulu-bulu putih karpet yang tebal.

for the gray one, until it returned to its colorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang