Beomgyu sama sekali tak berminat untuk mengalihkan atensi ketika mendengar pintu kamarnya diketuk sebanyak dua kali, lalu diikuti dengan derit selepasnya. Kedua matanya masih terpaku pada layar, sementara jemarinya sibuk menekan-nekan tombol di konsol gim. Karakter dalam permainannya tengah bertarung menghabisi musuh.
Semenjak sakitnya kian sering kambuh, menghabiskan waktu di luar jadi sesuatu yang mustahil. Ia menolak mentah-mentah ide ibu, yang memintanya untuk tinggal di rumah sakit dengan alasan agar lebih mudah dikontrol dan terfasilitasi, ia akan segera ditangani jika terjadi sesuatu⸺tetapi tidak, ia tidak akan pernah mau. Ia lebih sudi mati karena kehabisan napas ketimbang disebabkan rasa bosan.
Lantas inilah yang ia dapat; terkurung di rumah, menghabiskan sebagian besar dari detik-detik kehidupannya di kamar bersama segala macam perangkat gim untuk membunuh waktu, atau belajar apabila ia sedang rindu rasanya berurusan dengan buku pelajaran. Yah, tentu saja jauh lebih baik daripada terkungkung di ruangan serba putih memuakkan dengan bau menyengat khas rumah sakit yang membuatnya ingin muntah.
Kadang-kadang, Yeonjun datang untuk jadi teman bermain jika kakaknya itu sedang tidak dalam kejaran tugas dengan tenggat waktu melilit. Beomgyu tidak pernah meminta, pula tidak menolak. Ia tak memungkiri kalau sesungguhnya, ia menikmati setiap menit yang ia habiskan dengan melawan karakter yang dimainkan Yeonjun, kendati ia tidak pernah benar-benar mengakuinya. Entahlah, sulit untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan mengingat gurat-gurat cemas bercampur sendu dan letih itu senantiasa menghiasi wajah sang kakak. Itu akan selalu terpahat di sana tak peduli bagaimanapun ia mencoba untuk mengusirnya.
"Keberatan kalau aku bergabung?"
Beomgyu tidak segera menyahut. Ia menuntaskan babak permainannya terlebih dahulu sebelum akhirnya menoleh ke samping. Shin Ryujin berdiri tak jauh darinya, penampilan sama seperti terakhir kali ia lihat, hanya saja kali ini rambut sebahunya dibiarkan tergerai dan sebelah tangannya menjinjing sebuah kotak kecil. Gadis itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi, menanti jawaban.
Tak mengacuhkan ekspresi Ryujin, Beomgyu justru menghela napas, mengembalikan pandangannya pada layar. Sungguh, ia tidak menduga akan kedatangan gadis itu lagi di kamarnya. Rasa-rasanya, ia harus memperingatkan Yeonjun untuk tidak semena-mena membiarkan orang lain masuk ke zona pribadinya dengan dasar apa-apa. Toh juga ia tidak tertarik untuk berinteraksi dengan siapapun.
"Kau benar-benar suka sembarangan masuk tanpa izin, ya?" Ia sengaja mengabaikan pertanyaan gadis itu sebelumnya.
"Aku sudah mengetuk," Ryujin membalas, mengangkat bahu, "dua kali, aku yakin kau mendengarnya."
"Aku ingat kau memang menyebalkan karena cengeng, tetapi aku tidak tahu kalau ternyata kau menyebalkan di setiap kategori."
"Oh, ayolah, kau tak jauh lebih baik. Kau juga rupanya berubah jadi sangat sensitif dan pemarah."
"For real, Ryujin, what do you want?" Beomgyu berpaling, menabrakkan netranya dengan milik si gadis Shin dengan alis bertaut, mencoba menemukan sedikit petunjuk. Tidak masuk akal misal Ryujin jadi mendadak sering muncul di kehidupannya hanya untuk membikin jengkel dan memancing api.
Sayangnya, ia tidak menemukan apa-apa di sana. Ia sama sekali tak bisa membaca gelagat Shin Ryujin dan itu, sedikitnya, membuat Beomgyu frustrasi. Kenyataan bahwa ia tak mampu menjumpai alasan atau makna di sirat mata gadis itu sangat mengganggu.
"Kau ke sini untuk menertawai nasibku, benar?" Ia tak kuasa untuk menahan diri. "Anak nakal di masa lalu yang malang, kini ia tak bisa bernapas dengan normal tanpa merasa tercekik di setiap tarikannya, Tuhan menghukumnya dengan sangat adil⸺bila itu yang mau kau lakukan, maka tertawalah sepuasmu sekarang karena dendammu sudah terbalaskan."
KAMU SEDANG MEMBACA
for the gray one, until it returned to its colors
أدب الهواة"if i wish to return all the lost colors of yours, will you let me?" [written in indonesian, some dialogues are in english] [ongoing, very slow update] chaetbit © 2021