22. a glimmer of hope from a tired soul

499 52 4
                                    

Beomgyu diizinkan pulang beberapa hari setelahnya usai dinyatakan lebih stabil. Obat-obatan yang mesti dikonsumsi bertambah, wejangan yang didapat dari dokternya pun begitu meski ia tidak benar-benar mengindahkan. Itu tak lebih dari pesan terkait bagaimana ia harus lebih memperhatikan kondisinya sendiri; tidak boleh terlalu lelah dan stres karena itu dapat berakibat langsung pada kerentanan paru-parunya yang malang, menjaga pola makan dan istirahat, lalu mengenai pil-pil yang tak boleh sampai terlewat yang diperingatkan dengan cara lebih menyebalkan kali ini. Entahlah, dokternya itu cuma tidak bisa berhenti menyelipkan peringatan soal yang satu itu hampir di setiap kesempatan.

Sang ibu lebih sering murung selama di rumah sakit dan Beomgyu pikir itu bakal sirna begitu ia diperbolehkan pulang, namun agaknya ia kepalang naif untuk pemikiran tersebut. Ibunya bahkan tampak lebih gelisah selepas menyelesaikan pembahasan panjang dan serius dengan dokter terakhir kali. Paras rupawannya gagal menyembunyikan emosi atau tentang seberapa banyak hal yang tengah menguasai setiap sudut di kepala. Wanita itu banyak diam sepanjang perjalanan, memikirkan sesuatu yang hanya dirinya dan Tuhan (serta dokter, barangkali) yang tahu pasti.

Kadang-kadang ia memberi Beomgyu tatapan yang menyiratkan entah apa, seumpama ada hal yang perlu ia bicarakan dengan bocah itu, namun tak dilakukan lantaran satu dan lain pasal. Ketika tiba di kediaman mereka pun sang ibu cuma memintanya beristirahat, yang segera dituruti oleh Beomgyu tanpa protes walau ia hendak bertanya apa yang mengganggu pikiran wanita itu.

Seperti biasa, Yeonjun muncul sepersekian menit sebelum ibu berangkat mengajar. Suara langkah kaki serta caranya membersihkan tenggorokan membelah sepi di apartemen mereka yang luas. Omong-omong soal si sulung, Beomgyu belum mencoba melakukan apapun guna memperbaiki, sementara Yeonjun sendiri dipaksa terbiasa dengan jarak di antara mereka. Itu membuat Beomgyu kian merasa bersalah karena dirinyalah yang memberi kesan enggan berdamai selagi kakaknya lebih dahulu mengujar maaf.

Faktanya, pikirannya tidak pernah berhenti memutar ulang perkataan Yeonjun yang dibasahi air mata malam itu. Yang dikatakan Ryujin benar, mereka perlu bicara agar mengatasi ketidaknyamanan masing-masing⸺Beomgyu butuh memperbaiki mereka. Ia hanya memerlukan ruang untuk dirinya sendiri demi pikiran yang lebih jernih dan terkendali.


Beomgyu keluar untuk segelas air setelah sayup-sayup percakapan antara Yeonjun dan ibu luput dari rungu. Pikirnya sang ibu pasti telah pergi dan anak laki-laki yang lebih tua barangkali sedang mengerjakan sesuatu di kamarnya, jadi ia menapakkan kaki-kakinya melewati ruang tengah dengan santai. Ia sudah setengah jalan menuju dapur cuma untuk menyadari bahwa ibu dan kakaknya masih berada di sudut lain rumah, berbincang dengan volume rendah.

Ia enggan peduli, mereka selalu seperti itu; membicarakan banyak hal karena keduanya memang punya banyak. Menjadi satu-satunya orang dewasa selain ibu di rumah membuat Yeonjun menjadikan dirinya sendiri sebagai sandaran nyata sang ibu mengingat betapa presensi ayah mereka yang dalam setahun kepulangannya bisa dihitung jari. Beomgyu tidak iri dengan hubungan ibu dan kakaknya, bisa jadi sebab Yeonjun anak sulung dan kadang-kadang bersikap lebih dewasa daripada seorang anak yang baru menginjak awal usia dua puluh, membuatnya terkesan lebih mampu diandalkan menampung cerita rumit seputar kehidupan kendati yang mereka pilih untuk disimpan rapat pula tidak sedikit.

Hanya sampai ia mendengar namanya adalah topik yang tengah dibicarakan, ia terhenti.

Seepantasnya Beomgyu tidak lagi terkejut, dirinya akan selalu jadi buah bibir. Apa lagi kalau bukan membicarakan perkara kondisinya. Biasanya ia memilih abai, mengindahkan tentang bagaimana kondisinya makin memprihatinkan membuatnya muak bukan main. Ia tidak perlu mendengar soal itu karena ia merasakan sendiri bagaimana lemahnya ia dari hari ke hari, menunggu sambil menghitung mundur sisa waktu.

Entah apa yang mendorongnya untuk ingin tahu kali ini, yang ia dapati sekon berikutnya adalah sepasang tungkainya yang berayun menuju suara itu berasal. Ibu dan Yeonjun ada di lorong dekat pintu masuk. Beomgyu mengintip dari balik tembok yang membatasi ruangan, memperhatikan dua punggung yang menghadapnya. Tak ada raut yang bisa dibaca, namun lewat cara mereka memelankan suara membuat si bungsu itu yakin bahwa mereka tengah membicarakan sesuatu yang serius tentangnya. Tentang penyakitnya.

for the gray one, until it returned to its colorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang