03. if life was a game, he was definitely a loser

541 129 28
                                    

Beomgyu memandang muak pada botol-botol pil yang tersusun di atas meja belajar. Merasa lucu ketika mengingat meja itu kini telah beralih fungsi. Bukan lagi sebagai tempat buku-buku pelajarannya dibiarkan terbuka atau pensil dan pena yang bergelimpangan minta diurusi. Buku-bukunya berjajar rapi di sudut, alat-alat tulisnya terkumpul dalam satu tempat di sebelahnya. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia menyentuh mereka.

Bertahun-tahun lalu, saat pil-pil itu jadi teman baru, Beomgyu menggantungkan harapannya setinggi langit. Menurut patuh pada setiap dosis yang harus ia telan. Ada milyaran asa yang diuntai sepanjang jalan yang dilaluinya acap kali menjalani pengobatan di rumah sakit. Ia sadar diri penyakit sialannya merepotkan dan cukup untuk membuat orang-orang di sekitarnya bersedih, sebab itu ia tak mau menyerah pada lelah.

Kemudian sesudah melewati serangkaian perawatan medis, berulang kali keluar-masuk ruangan gawat darurat, paru-paru yang dipenuhi cairan, membiarkan berbagai macam ukuran jarum dan slang menjarah tubuhnya, menahan segala jenis nyeri hingga ia nyaris mati rasa, menyisakan bekas-bekas luka bedah di kulit⸺Tuhan rupanya memberinya kesempatan lain.

Ia memang tidak sepenuhnya menang dari pertarungannya, penyakitnya bukan sesuatu yang dapat disembuhkan dengan mudah, ia memerlukan beberapa operasi besar bahkan transplantasi agar betul-betul sehat. Akan tetapi lewat bagaimana Tuhan mengembalikan hidupnya kembali ke titik semula perlahan-lahan, ia mulai percaya pada sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai keajaiban.

Kala itu Beomgyu luar biasa bersyukur, tidak ada hal yang lebih melegakan menyaksikan orang tua dan saudaranya terlepas dari belenggu kesedihan. Ia kembali menjalani kehidupannya di sekolah. Menghabiskan waktu dengan teman-teman dekat dan pergi bermain di arkade selama yang ia kehendaki. Mengikuti perlombaan akademik yang sempat ditinggalkan. Semua itu membuatnya merasa seperti hidup lagi. Ia tidak mengkhawatirkan apa-apa. Ia pikir ia mampu berdamai dengan sakitnya dan hidup berdampingan dengan itu.

Akan tetapi, agaknya, semesta belum puas mengajaknya bermain-main. Setelah dibiarkan bersenang-senang dengan itu, sukacitanya lekas kembali digantikan oleh duka. Bahagia seakan-akan terlampau enggan menjadi rekan.

Orang-orang bilang, kesempatan jarang datang dua kali⸺atau bahkan kesempatan kedua itu nihil adanya. Miliknya telah datang terlebih dahulu. Ia diselamatkan sekali, dibiarkan menikmati bagiannya kendati sebentar. Walau sekitarannya mengatakan ia pasti baik-baik saja, bahwa Tuhan sangat menyayanginya dan akan menghadiahinya peluang lain, Beomgyu tahu itu mustahil.

Serentetan kalimat yang mereka katakan itu, tak lebih dari sekadar bualan manis agar membuatnya tak berkecil hati.

Ia tidak dungu. Ia paling tahu apapun mengenai tubuhnya. Tidak peduli berapa banyak jumlah pil yang harus ia dorong masuk ke kerongkongan, berapa kali ia mesti terbaring di atas brankar rumah sakit bersama alat-alat penunjang kehidupan terpasang, pada setiap tarikan napasnya yang makin sesak dan menyedihkan⸺ia tak bakalan berjumpa dengan peluang serupa itu lagi.

Ia juga mengerti, tidak sepatutnya mengibarkan bendera putih sebelum mencoba, tidak ada yang bisa menebak masa depan, bukan? Sayangnya, ia bukanlah bocah naif yang sama selayaknya bertahun-tahun lalu, yang akan memercayakan hidupnya di tangan orang-orang berjas putih atau dengan variasi pil yang dosisnya akan terus bertambah. Ia sudah pernah berada di fase tersebut. Ia sudah melewatinya. Dan berada di fase itu sekali lagi berarti kehancuran mutlak.

Tak ubahnya bom waktu, ia paham masanya bisa habis kapan saja, cepat atau lambat. Ia sekarat. Eksistensinya cuma mengundang gelisah dan risau orang-orang yang dicintainya dan Beomgyu membenci itu. Ada banyak hal yang direbut paksa darinya. Terlalu banyak sampai ia kewalahan untuk sekadar mengingat jumlah.

Lantas, kenapa nyawanya tidak direnggut serta?

Ia bahkan telah roboh. Tertimbun jauh di bawah reruntuhan kehidupannya yang kini hanya bersisa puing-puing, tak melihat apapun selain abu-abu yang gelap. Ia tidak lagi ingin diselamatkan. Ia tak mau repot-repot menyaksikan bagaimana penyakit sialannya mengambil alih seluruh dunianya. Ia berada di ambang kekalahan⸺kemenangan tidak diciptakan untuk seseorang sepertinya, ia tahu ia akan kalah pada akhirnya, jadi buat apa bersusah payah membiarkannya hidup sementara jiwanya telah binasa perlahan?

for the gray one, until it returned to its colorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang