tigabelas

69 3 0
                                    

13.

"Berharap semoga jalan hidup akan baik dan bahagia sama dengan ekspektasi, kenyataannya justru harapan itu yang membuat kita tidak nyaman, just enjoy it,"---Reyes Delvin Anderson.
.
.
.
.

"Mau kemana?"

"Biasa Ma, mau kumpul sama temen-temen," jawab Reyes. Ia berjalan melewati ruang tamu.

"Ehm." Suara Anderson berdehem. Lalu dengan nada tegas melanjutkan bicara, "Papa lihat akhir-akhir ini kamu selalu pulang malam! Tidak belajar?"

Ternyata ayahnya sudah berdiri di belakang Reyes. Kenapa Papa selalu di belakang gue sih?

Reyes tidak bisa berkutik. Belajar? Jadwalnya belajar hanya tiga kali dalam seminggu. Selain itu sisa waktunya  untuk bermain bola. Berbeda jika sudah mendekati ulangan, ia baru ngebut belajar satu minggu penuh.

"Kan nggak mau ulangan Pa," jawab Reyes sembari menatap sepatu sneaker yang dipakainya.

"Kamu ini! Coba lihat kakak kamu dulu,  dia tidak rajin belajar, bahkan setelah lulus kuliah ia tidak jadi apa-apa dan malah menikah,  dan... kamu tinggal satu-satunya harapan Papa, ngerti kamu!" sergah Anderson yang kini sudah berdiri di hadapan putranya.

Laura yang tadinya fokus menonton acara tv, mendadak menipiskan volume-nya. Ruang tamu kian hening.

"Nongkrong-nongkrong nggak jelas, latihan voli teruus, sampe sekarang mana hasilnya?" sindir Anderson.

"Reyes udah gede Pa, udah punya tujuan hidup, dan passion Rey ada di bidang ini," jawab Reyes, menatap wajah Ayahnya.

"KAMU---"

Lelaki paruh baya itu tidak bisa berpikir jernih, hampir saja ia mau menampar putranya.

Reyes tetap pada posisi semula, tidak bergerak menghindar. Ia hanya memejamkan matanya, erat.

"Baik, sekarang terserah kamu. Jika saja usahamu di bidang bola itu gagal, silahkan siap-siap buat pindah sekolah!" ujar Anderson bulat, tanpa ada kata tapi.

Malam itu Reyes membatalkan niatnya ke rumah Abyan.

----------

Suasana kantin terlihat ramai. Reyes dan teman-temannya duduk di kursi bagian depan. Selesai menghabiskan makanan, mereka berpindah tempat menuju tangga dekat kantin. Mereka duduk di sana,  sedikit menghalangi jalan. Dan sudah biasanya mereka menggombal kepada setiap cewek yang lewat.

"Ikan hiu makan tomat, ai lov yu so mach," celetuk Bimo.

"Dih, mana ada!" ketus seorang cewek berambut sepinggang.

"Apasih yang nggak ada buat kamu," ucap Bimo.

"Hiunya nyasar, HAHA," sahut Abyan lalu yang lain ikut terkekeh.

Tak lama kemudian Aisha datang bersama Tiara dan Feyla. Ketika yang lain menggombal, Reyes hanya melirik sebentar. Sepertinya akan aneh jika dirinya ikut-ikutan seperti yang lain.

Tiara menyapa Reyes dan tersenyum. Cowok itu membalasnya dengan senyum sekilas. Begitu halnya dengan Feyla.

"Eh nona Feyla, silahkan lewat sayang," ucap Abyan diiringi senyum.

"Iya, makasih tuan Abyan sayang," balas Feyla diikuti semu merah di pipinya.

Semua itu tak luput dari perhatian Aisha. Ia merasa seperti tersesat di dunia lain. Alias tidak tau harus berbuat apa. Ia menggeleng pelan dan berbalik arah, tidak jadi ke kantin. Sebelum itu ia berkata kepada Feyla untuk membelikannya roti. Ya, Aisha tidak kuat menahan gejolak cemburunya. Ia tidak rela.

Hai, Mas AtletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang