sembilanbelas

64 3 0
                                    

19.

"Masih kelas satu jangan bolos, nggak boleh pecicilan, nggak baik. Nanti kalo sudah kelas dua, bolehlah bolos sepuasnya. Dan jangan lupa kelas tiga harus tobat sampe lulus,"----Abyan.
.
.
.
.

Beberapa menit Reyes sudah terduduk. Namun, pandangan Ayahnya masih tak beralih dari koran.

'Ini Papa sebenernya mau ngapain? Gue disuruh duduk tapi malah dianggurin,' batin Reyes.

"Papa denger kamu ikut lomba lagi?" tiba-tiba suara itu merusak lamunan Reyes.

"Eh, iya Pa," jawab Reyes sedikit ngegas, karena terkejut.

"Gimana?" tanya Anderson sembari meletakkan koran bacaannya.

"Itu, besok tanding lagi Pa."

"Kamu tau ini jam berapa?" nada dari suara itu terdengar sedikit galak.

"Jam lima sore, Pa," tutur Reyes menunduk memandangi ubin.

"Sudah makan?"

"Belum."

"Ya sudah, makan dulu sana. Nanti Papa mau lanjut ngobrol lagi."

Reyes melenggang pergi dengan berbagai teori konspirasi di otak. Tumben sekali ayahnya tidak segalak hari-hari biasa. Apa ayahnya berhasil menang undian? Sebentar, ia teringat sesuatu tentang dirinya sendiri. Ya, Reyes belum mandi. Dengan cepat-cepat ia membersihkan diri menuju kamar mandi. Menepis segala teori-teori yang ada di kepalanya.

Selesai mandi, ia bergegas menuju dapur. Rasa lapar semakin terasa setelah mandi.

Reyes duduk di salah satu kursi yang tersedia di belakang meja makan. Membuka tudung saji dan mengambil beberapa makanan yang akan disantap.

Pertengahan ia makan, Ibunya sedang mengambil sebotol air minum dari kulkas. Memandangi anaknya yang makan dengan lahap.

"Gantengnya anak Mama."

"Mama kenapa sih? Papa juga kenapa? Kayaknya hari ini aneh banget," ucap Reyes setelah berhasil menelan sesuap nasi dan menengguk air mineral dari gelas.

Laura menutup pintu kulkas pelan.  Lalu duduk di kursi seberang Reyes. "Sudah, makan aja dulu. Nanti Mama ceritain!"

Wanita hampir paruh baya itu masih terlihat bugar. Meski sedikit kerutan di wajah sudah nampak.

---------

Profit perusahaan Anderson group meningkat semenjak baru-baru ini berhasil bekerja sama dengan perusahaan besar dari Singapura.

Kebahagiaan itu ia tunjukkan kepada putra satu-satunya. Bahkan pria itu lupa tentang dunia atlet Reyes.

Keluarga itu kini berkumpul di ruang tengah. Berkumpul di sofa dengan TV LED menyala menampilkan sinema bertema komedi. Sudah lama keluarga Reyes tidak sedekat ini. Mungkin, karena Ayahnya yang sibuk kerja.

"Astaga, lucu banget itu mukanya?" komentar Laura, saat memandangi layar TV.

"Libur akhir semester nanti, mau ke mana?" ucap Anderson, menghentikan arah pandang Reyes dari TV.

"Hmmm... nggak tau Pa, bingung," jawab Reyes.

"Ayolah Rey, main bolanya dipending dulu. Kamu butuh liburan. Mumpung keuangan Papa kamu lagi berada di puncak," tutur Laura lembut.

"Yaudah, mau ke Bali," ucap Reyes.

"Ada lagi?" tawar Anderson, seolah itu tidak seberapa. Karena memang tidak seberapa.

"Tapii... sama temen-temen," cetus Reyes. Berharap disetujui.

"Temenmu ada berapa?"

"Ada sekitar 8 orang, beneran ni Pa?" ucap Reyes. Otaknya sudah mulai berkonspirasi.

Hai, Mas AtletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang