tiga

2.2K 233 11
                                    

Empat tahun yang lalu, aku melahirkan seorang putri cantik bernama Diandra Hanari. Namanya diambil dari namaku juga Mas Candra.

Yang sangat disayangkan, Diandra harus lahir prematur dan hanya bertahan beberapa jam saja.

Aku dan mas Candra sedih bukan main. Aku sempat murung selama hampir satu bulan.

Mungkin karena Tuhan tak mau kami terlalu berlalut dalam kesedihan.

6 bulan kemudian aku kembali hamil, aku saat itu sangat bersyukur. Namun, harus kembali kehilangan ketika kandungan berusia 9 minggu. Aku keguguran.

Sampai akhirnya, satu tahun kemudian aku menderita menorrhagia yang membuat aku harus dilakukan tindakan histerektomi atau operasi pengangkatan rahim. Karena menorrhagia yang aku alami tidak bisa ditangani dengan cara lain.

Sepertinya Tuhan menakdirkan aku dan mas Candra untuk hanya hidup berdua saja.

Beruntungnya, Mas Candra tetap setia padaku dan menerima aku apa adanya.

Tapi, omongan mas Candra kemarin membuat aku kepikiran. Sepertinya mas Candra ingin punya anak, hanya saja aku tidak bisa menurutinya.

Pagi ini, aku duduk di kamarku seorang diri. Minggu pagi, Mas Candra pergi berolahraga bersama bapak-bapak komplek. Sedangkan aku memilih untuk beristirahat karena kelelahan di hari kemarin.

"Di."

Suara mas Candra menyadarkanku dari lamunan. Aku tersenyum, bangkit dan menghampirinya.

Wajahnya berkeringat tapi terlihat segar.

"Capek, Mas?"

Aku dan mas Candra mungkin tidak saling mencintai satu sama lain. Tapi, kami sangat saling menyayangi. Aku tidak mau kehilangan mas Candra, begitupun sebaliknya.

Alasan kami bersatu, karena sama sama ditinggalkan orang yang kami sayangi. Pacar mas Candra meninggal karena kecelakaan, sedangkan aku harus ditinggalkan pacarku karena orang tuanya tidak merestui hubungannya denganku.

"Capek," sahutnya. "Tapi, lihat wajah kamu capekku hilang."

Aku terkekeh mendengar gombalannya.

"Mas mau makan? Aku udah bikin nasi goreng putih," kataku.

"Oh, ya?"

Aku mengangguk.

"Boleh, tapi sebelum makan aku punya kejutan buat kamu."

Aku mengernyit heran mendengar omongannya. Kejutan apa?

"Apa tuh?"

Tanpa aba-aba, ia menarik tanganku keluar kamar dengan pelan. Membawaku ke depan teras rumah. Aku tak melihat apapun yang terlihat asing. Kecuali sebuah kardus kotor dekat pagar.

"Itu apa?"

Mas Candra menyuruhku berhenti. Lalu dia berjalan ke arah sana dan mengambil sesuatu dalam kardus di sana.

"Taraa," ucapnya kencang dengan sumringah.

Aku terkekeh pelan. Sedikit tidak menyangka.

"Mas enggak takut?"

"Enggak dong."

"Inii kejutannya?"

Mas Candra mengangguk mantap.

"Iya, untuk kamu."

Aku langsung menghampirinya. Mas Candra yang menggendong kucing berwarna oren putih tersebut dengan erat. Aku terkekeh pelan, seperti menggendong seorang anak bayi.

"Dapet dari mana?"

"Tadi pas jogging enggak sengaja ketemu dia sendirian. Udah cari ke sana sini enggak ketemu di mana ibunya. Karena kasihan, aku bawa. Keinget omongan kamu juga dari dulu pengen punya kucing. Makanya, aku bawain buat kamu."

Mendengar penjelasannya aku sedikit kaget. Bisa-bisanya Mas Candra masih mengingat kemauanku beberapa tahun silang. Ya memang dulu aku pernah minta izin untuk memelihara kucing, namun Mas Candra menolak karena ia sangat takut dengan kucing. Tapi entah mengapa kali ini berbeda.

"Makasih, Mas."

Mas Candra tersenyum. Menyerahkan kucing tersebut kepadaku.

"Nanti kita beli makanannya, kandangnya, shampo dan lainnya ya. Oke?"

Aku tersenyum ke arah mas Candra. Mungkin dia memang tidak mencintaiku, tapi dia selalu melakukan hal yang menurutku romantis dan tidak alay. Seperti ini.

"Maafin ucapanku kemarin."

Aku mengernyit, mengalihkan tatapan dari kucing di gendongan.

"Yang mana?"

"Soal anak, seharusnya aku enggak minta itu karena akan nyinggung perasaan kamu."

Aku terkekeh pelan. Menggeleng.

"Seharusnya aku yang minta maaf, karena aku kamu enggak bisa punya anak. Keadaan—"

"Diam."

Mas Candra memotong ucapanku dengan mengecup jidatku lembut. Aku terkekeh.

"Jangan gitu, nanti ada yang lihat."

"Enggak apa-apa, kita udah halal."

Sampai AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang