delapan

1.5K 197 1
                                    

Ada yang berbeda dari Mas Candra. Pagi ini pergi bekerja tanpa makan masakanku. Makanan yang aku siapkan dianggurinya. Bahkan dia pergi hanya mengucapkan salam.

Aku menghela napas. Sedikit bingung. Sudah menelepon namun panggilanku tidak diangkat.

Sebenarnya, keanehan Mas Candra bukan sejak tadi.

Semenjak semalam, di mana aku bercerita soal bertemu dengan Danu kemarin siang saat bersama Citra. Saat itu, Mas Candra tidak lagi bicara apa-apa. Bahkan kami tidur sendiri-sendiri lagi. Walaupun sebenarnya itu bukan masalah.

Pagi ini jadwalku melakukan pelajaran jarak jauh. Tapi aku tetap datang ke sekolah.

Biasanya aku diantar oleh Mas Candra kalau dia tidak terburu-buru ke kantor. Karena tadi Mas Candra berangkat lebih dulu, alhasil aku naik angkutan umum karena tak bisa mengendarai kendaraan sendiri.

"Han, menurut lo gimana?"

Teman kerjaku, Hani, datang ke mejaku.

Aku mengernyit bingung.

"Gimana apanya?"

Kemudian dia bercerita soal kekasihnya yang belum juga melamarnya. Hani ini umurnya sudah kepala 3, memang lebih muda Hani dibandingkan denganku. Tapi Hani belum juga menikah karena laki-laki yang ditunggu untuk melamar belum mau juga.

"Apa gue terima tawaran mama gue?"

"Tawaran apa?" tanyaku.

"Kalau pacar gue belum lamar gue, gue bakal dijodohin."

Aku yang mendengar itu dari mulut Hani sedikit terkejut. Bagaimana bisa?

Aku kemudian memberikan saran pada Hani. Ah, aku jadi teringat Danu. Dia juga dijodohkan oleh ibunya dan akhirnya Danu meninggalkanku. Beruntung, aku bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik daripada Danu.

Candra Rahadian.

Lelaki yang mau menerima aku apa adanya. Dengan segala kekurangan yang aku punya. Walaupun kami memang tidak saling mencintai, tapi jarang sekali pun Mas Candra melukai hatiku selama pernikahan terjadi. Dia benar-benar tahu harus bersikap bagaimana terhadapku.

Kembali ke Hani. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Aku balas tersenyum.

Sampai akhirnya jadwal pulang, aku memilih untuk langsung pulang ke rumah. Tadinya, aku berniat untuk pergi ke makam Diandra. Namun melihat langit yang gelap, aku jadi urung. Mungkin lain kali, bersama Mas Candra.

Tiba di rumah. Mas Candra meneleponku.

"Kenapa, Mas?"

Dua menit dari pertanyaanku tadi, Mas Candra belum juga menjawab.

"Mas?"

"Aku kangen."

Aku yang tengah minum tersedak kaget.

"Kenapa, Mas?"

"Kangen kamu, Di."

Aku tertawa pelan. Aku yakin, di seberang sana Mas Candra pasti kesal karena aku tertawakan.

"Mas masih lama pulangnya?" tanyaku mengalihkan.

"Masih."

"Ya udah, cepet pulang ke rumah biar bisa ketemu aku."

"Iya, Di."

Kemudian aku dan Mas Candra saling diam. Sampai akhirnya dia membuka suara lagi lebih dulu.

"Jangan nakal ya."

"Kenapa sih, Mas? Aneh."

"Aku takut."

Aku mengernyit bingung.

"Takut kenapa?"

"Dari kemarin, semenjak kamu cerita soal Danu. Aku takut. Makanya aku lebih milih diam. Bahkan semalam, di kamar aku nangis mikirin itu. Aku takut kamu balik ke Danu. Aku takut kamu masih punya rasa sama dia. Maafin sikapku semalam dan tadi pagi ya, Di."

Sampai AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang