Malam ini aku dan Mas Candra memutuskan untuk tidur dalam satu kamar. Seterusnya. Tidak ada batasan waktu.
Waktu menunjukkan pukul 11 malam, aku yang sudah mengantuk harus tetap terjaga karena Mas Cakra yang ingin bercerita banyak hal.
Aku dan Mas Candra saling berhadapan dalam posisi tiduran.
"Aku benar-benar beruntung punya kamu." Dia tersenyum. Memainkan pipiku dengan tangannya. "Serius deh."
"Ih, kenapa sih? Dari tadi omongannya ngaco. Aku juga beruntung punya kamu, Mas. Mau menerima aku apa adanya dengan keadaan aku yang serba kurang gini."
Mas Candra terkekeh pelan.
"Aku lebih beruntung."
"Aku sih."
"Aku, Di."
"Aku, Mas."
"Hmm."
Akhirnya dia mengalah yang membuatku tertawa lebar. Dia kebingungan, tapi ikut tertawa juga bersamaku.
"Kamu manusia paling baik yang aku kenal setelah keluargaku." Dia lagi-lagi tersenyum. "Kamu enggak ninggalin aku dalam posisi aku terpuruk. Saat itu."
"Kapan?" tanyaku. "Kapan posisi Mas terpuruk?"
"Saat aku ditinggal keluargaku. Kamu benar-benar enggak ninggalin aku sedikit pun." Dia kemudian mengusap rambutku lembut yang membuat aku merinding, entah kenapa. "Kamu baik, Di."
Aku hanya bisa diam.
"Aku mau berterima kasih soal itu."
"Enggak usah."
"Tapi aku mau."
Aku menggeleng. Obrolan malam ini terasa aneh.
"Mas, cerita dong gimana mas bisa cinta sama aku? Secara diam-diam, kayak anak remaja." Permintaanku padanya. "Ayo, Mas. Cerita."
Mas Cakra mengernyit heran. Kemudian mengingat obrolannya tadi siang. Terkekeh pelan.
"Yang pasti, saat kamu kabarin aku kalau lagi hamil. Aku ngerasain sesuatu yang beda, Di. Aku yang saat itu cuma sayang sama kamu, tiba-tiba sadar. Aku juga cinta kamu. Mungkin ini kedengaran alay ya? Tapi emang begitu. Apalagi pas Diandra lahir, aku makin sadar kalau aku benar-benar cinta kamu. Kebilangan Diandra buat aku sedih, tapi aku enggak mau kelihatan sedih di depan orang yang aku cinta." Dia berhenti mengusap rambutku. "Makasih, Di."
Aku terkekeh pelan. Bingung harus bicara apa.
"Di, jangan pernah merasa kalau diri kamu itu kurang dengan keadaan kamu yang sekarang."
"Tapi aku emang kurang. Aku enggak punya sesuatu kayak kebanyakan wanita di luar sana. Yang bi—"
Mas Candra menggeleng. "Jangan bilang gitu."
"Kenapa?"
"Kamu sempurna."
Aku menggeleng.
"Coba jawab pertanyaan aku dengan jujur." Aku menarik napas dalam-dalam. "Oke?"
"Pertanyaan apa?"
"Mas sejujurnya pengen punya anak kandung kan?"
Mas Candra terdiam selama beberapa detik. Dia terkekeh pelan, lalu menganggukkan kepalanya mantap.
"Tapi aku enggak bisa kasih itu," kataku sedih. "Aku enggak pu—"
"Hey!" potong Mas Candra. "Diandra. Kamu enggak ingat Diandra itu anak kandung kita?"
"Dia udah enggak ada. Mas, yang aku maksud anak kandung yang sekarang bisa nemenin kita."
Mas Candra menggeleng.
"Di, jangan mikir begitu. Walaupun Diandra udah enggak ada, aku yakin dia ada di sini. Lihatin ayah juga ibunya yang sedih karena kehilangan dia. Dia ada di sini, Di. Dan aku selalu nganggap dia masih hidup walaupun dia udah pergi."
"Mas."
Aku ingin menangis ketika membahas Diandra.
Diandra anak pertamaku, harus pergi karena prematur dan hanya bertahan beberapa jam saja di inkubator. Diandra terpaksa lahir saat usianya di kandungan masih jalan 8 bulan.
"Di, bahkan kita punya dua anak."
Aku terdiam.
"Yang satu memang enggak punya nama."
Aku tak merespon, kemudian menenggelamkan wajah di dada Mas Candra.
"Di, besok kita ke makam Diandra yuk?"
Besok hari Minggu, Mas Candra libur. Aku ingat, beberapa Minggu kemarin Mas Candra bilang ingin ke makam Diandra tapi sampai sekarang belum kesampaian.
"Kita lihat dia."
"Mas mau?"
Dia mengangguk.
"Tapi siang, ya. Besok aku ada rapat, oh ya, bangunin aku jam setengah sembilan pagi. Takutnya ketiduran."
"Iya, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Akhir
Short Story[Selesai] "Di, walaupun kita menikah bukan karena cinta. Tapi aku janji untuk setia sama kamu sampai akhir hidup aku." --- 24 November 2021