06. Prasangka

0 1 0
                                    

Jika sudah larut dengan kegemaran maka yang lain seolah luput dari pandangan dan pendengaran. Ruang waktu seakan berpusat padamu, waktu berhenti menunggumu kembali pada pandangan semesta yang nyata.

Dengan khusu' Naya membalikkan satu persatu lembaran buku yang kini sedang ia genggam. Dunianya berpusat kearah kemana laju mata Nya mengikuti satu persatu bait yang tertera di dalam buku. Sangat terkonsentrasi dan tidak mau di ganggu sedikit pun. Sebelum tenggelam dalam bacaan sastra berjudul 'Garis Waktu' tersebut bahkan ia mengunci kamar Nya agar tidak ada yang mengganggu.

Naya ingat besok ia harus mengembalikan buku tersebut kepada pemilik Nya.

Namun ada saja manusia penghuni rumah yang mengganggu kenyamanannya membaca. Arkan mulai menggedor pintu kamar Naya awal nya Naya tidak menghiraukan sama sekali dan tetap fokus membaca. Tapi manusia bernama Arkan tidak akan pernah mau menyerah jika keinginannya tidak di turutkan.

Naya menghentikan kegiatan membacanya dan berjalan menuju pintu "Hmmm?" Naya menaikkan dagu dengan muka sebalnya.

"Kak Nay lama, gunting kuku mana?"

Oh tuhan Naya sangat ingin marah sekarang hanya perkara gunting kuku Arkan harus menggedor pintu kamarnya.

"Tidak sekalian kamu pecahkan pintu kamar ku demi gunting kuku, Arkan!"
atensi Naya mulai naik.

"Hehe, maaf." Arkan terkekeh "jadi, mana?"

"Di cari, di tempat biasa."

"Kalau Arkan ketemu ngga akan tanya kak Nay."

Naya berusaha sabar, meskipun bekal sabarnya sudah hampir habis karena kelakuan Arkan. Manusia berstatus adik Nya ini sangat lihai dalam memainkan emosi orang, Naya sudah bebal dengan itu.

"Kamu bisa tidak, engga ganggu aku sehari saja. Sepertinya hidup kamu tidak tenang sebelum emosi ku naik." omel Naya.

Naya turun ke lantai bawah membantu mencari benda yang diminta Arkan. Naya sangat tahu sifat Arkan tidak akan membiarkan nya kembali dengan tenang jika yang dimintanya belum terpenuhi.

"Sudah aku bilang cari,"

"Sudah aku cari."

"Jika kamu cari dengan benar, kamu tidak akan sampai mengganggu ku, Arkan!"

Sementara Naya mengomel Arkan mengejek dari belakang. Ketika Naya berbalik Arkan akan memasang wajah polosnya.

"Ini apa?" Naya menunjuk sebuah benda yang ia pegang ke hadapan Arkan.

"Wah... Tidak salah meminta bantuan kak Nay." Arkan berpura-pura berdwcak kagum, merebut benda itu dan berlari pergi.

Naya hanya menghela napas dengan tingkah laku adiknya itu.

Naya kembali ke kamar dan melanjutkan aktivitas membacanya.
Baru setengah halaman ponselnya berdering, tertera nama kak Gina.

"Nay,"

"Hmmm?"

"kakak tidak pulang pekan ini. Banyak pekerjaan yang harus di selesaikan. Sampaikan pada ayah ibu."

"Tidak biasanya kakak tidak pulang di akhir pekan."

"Kau tahu kakakmu sangat sibuk sekarang ini. Ada projek yang harus segera kakak selesaikan."

"Begitu, Lalu bagaimana dengan pesanan ku?"

"Kau tidak benar-benar menantikan kepulangan ku kan!"

"Kak, kepulanganmu adalah hadiah."

"Karena membawa pesanan mu."

Naya terkekeh mendengar nya. Kak Gina selalu pulang di akhir pekan membawakan apa yang adik adik nya pesankan. Jika Arkan meminta hal hal yang berhubungan dengan Gamesnya maka Naya akan meminta di belikan printilan-printilan terkait kegemarannya yang sama sekali Gina tidak mengerti. Namun begitu ia tetap membelikan kedua adiknya itu secara adil.

Setelah mengakhiri panggilannya Naya menatap nanar pada buku dalam pelukannya, tidak lagi berminat melanjutkan bacaannya. Karena yakin akan ada gangguan lain yang akan menggangu konsentrasi membaca. Dan benar saja beberapa saat kemudian suara ibu berteriak dari bawah memanggil nama Nya.

"Ini apa Bu?" Naya mengangkat sebuah benda yang terasa asing baginya, bukan barang yang biasa ada dalam barang kemasan ibunya.

"Oh, itu barang yang dikasih atasan ayahmu. Katanya untukmu."

"Untukku?"

"Bukankah kalian pernah bertemu sebelumnya?"

"Atasan ayah yang baik dan ramah itu,"

Karena penasaran Naya membuka benda persegi tersebut.

"Wah! Jam tangan Bu." Naya setengah berteriak tidak menyangka akan di hadiahi sebuah jam tangan oleh om Rahman yang bahkan baru ia kenal kemarin.

Sebuah jam tangan mini berwarna gelap mengalihkan atensi ibunya dari berkemas dan menghampiri Naya.

"Lihat Bu, Naya yakin ini bukan jam tangan murah yang biasa Naya beli."

"Kalau begitu kembalikan."

"Tapi Bu,"

"Tidak ada yang gratis di dunia ini Nay." tegur ibunya.

"Sayang Bu, Naya belum pernah melihat jam seindah ini." Tangan Naya menggosok jam cantik itu dengan sayang.

"Dengar, kembalikan atau ibu buang."

"Tapi kenapa Bu, om Rahman berniat baik memberikan ini untuk Naya sebagai salam perkenalan."

Naya ingat pernah bercerita pada om Rahman bahwa ia suka mengoleksi jam tangan dan bercita-cita suatu hari bisa membeli jam tangan ber merk. Mungkin dengan alasan itu om Rahman memberikan jam tangan itu tanpa mencurigai maksud lain.

"Kau tau sebuah hadiah jika di maksudkan lain bisa membuat terlena."

"Ibu benar-benar berlebihan, tidak semua orang berpikiran jahat seperti yang ibu sangka kan."

"Ibu tidak berlebihan dan ibu tidak menyukai hal yang berlebihan. Ini terlalu berlebihan untuk sekedar hadiah."

"Baiklah, ibu saja yang kembalikan." Naya menyerah, ibunya tidak akan bisa di pengaruhi jika sudah menyangkut harga diri baginya. Harga diri bagaikan harga mati bagi ibunya.

"Kau yang di beri hadiah, bertanggung jawablah."

Naya mendengus pasrah, apa yang harus ia katakan kepada Om Rahman setelah menolak hadiah darinya. Naya tidak mau Om Rahman mengartikan lain atas penolakannya itu, apalagi dianggap tidak tahu diri dengan menolak sebuah pemberian.

Naya harus menyusun diksi yang baik untuk mengembalikannya pada Om Rahman agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

ITS LOVE ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang