Part 7

3 2 0
                                    

Aku mengembalikan buku milik kak Shaka yang sebelumnya aku pinjam, mendapatinya berjalan di koridor aku segera menghampiri.

Ternyata susah juga mencari sosok kak Shaka di sekolah ini setelah aku bolak balik dari kelas ku dan kelas kak Shaka saat istirahat aku sama sekali tidak menjumpainya. Namun, ketika aku tidak mencarinya aku menemukan nya dengan mudah. Ia berjalan sendiri di koridor.

"Sudah selesai bacanya?" tanya Nya saat aku memberikan kembali buku miliknya.

"Belum sih,"

"Kenapa di kembalikan?"

"Kata ibu kalau meminjam harus segera dikembalikan." jawab ku realistis.

Bibir kak Shaka terangkat membentuk sebuah senyum tipis saat mendengar jawaban ku yang terdengar kekanakan. Senyum tipis yang aku sukai, meskipun sedikit tapi sangat memesona bagi ku.

"Baca saja dulu, kembalikan setelah selesai membacanya?"

"Kak Shaka, gimana?"

"Ckckck, saya yang punya bukunya." Kekehnya, Aku mengangguk mengiyakan.

"Tapi eksotis membaca ketika buku baru di rilis itu beda loh kak?" kata ku.

"Bedanya?"

"Rasanya lebih angkuh karena sudah selesai membacanya, seperti burung yang sudah kembali dengan perut kenyang sementara yang lain baru akan terbang."

"Ckckck." Kak Shaka tertawa kecil mendengar perumpamaan ku yang mungkin aneh baginya.

"Bagi saya sama saja."

Kami berjalan sambil membicarakan mengenai buku yang kini sudah kembali beralih dalam pangkuan ku.
Entah kenapa berbicara dengannya rasanya begitu nyaman. Suasana yang semula aku pikir akan canggung ternyata cair dengan berbagai bahan pembicaraan seputar buku, begitupun dengan pribadinya yang ku pikir orang yang dingin dan cuek ternyata kak Shaka orang yang baik dan ramah. Rashel tidak salah dalam penilaiannya mengenai kak Shaka.

Ternyata eksotis berbicara dengan orang yang kita kagumi jauh lebih menyenangkan daripada membaca buku yang baru di rilis, hati ku benar-benar terpaut dengan senyuman tipis miliknya, senyuman yang selalu ku harapkan setiap kali melihat wajahnya.

'Jarak hanyalah satu titik kecil tak berarti, rindu adalah satu koma yang takkan menghentikan kalimat tentang kau dan aku'

Aku membacakan satu kutipan favorit yang aku ingat dalam buku itu.

"Kutipan favorit kakak apa?" tanya ku.

"Saya baru membaca sedikit, tidak banyak yang saya ingat."

Aku mengangguk paham, kak Shaka belum membaca sepenuhnya dan belum menemukan kutipan favorit baginya.

Kami berpisah saat sampai di depan kelas kak Shaka. Aku melambaikan tangan dan di balas anggukan kepala olehnya.

Sayup-sayup aku mendengar dari dua siswa yang sebelumnya aku sapa dengan tersenyum dan sedikit membungkuk, salah satunya bertanya 'siapa?' aku tahu yang dimaksud adalah aku. Aku tidak mendengar jawaban kak Shaka karena aku sudah melangkah lebih jauh.

"Ekhem, yang habis berbicara dengan kakak kelas." goda kinkaa saat aku menduduki kursi ku.

"Kalian tahu?" Kening mengernyit heran.

"Bagaimana? Sudah kenal?" tanya Rashel antusias.

Kenal? Apakah bisa di sebut kami sudah mengenal bahkan dalam pembicaraan tadi aku belum mendengar kak Shaka menyebut nama ku sekali pun.

Aku hanya tersenyum kepada keduanya yang membuat mereka mulai mengintrogasi ku.

Bagaimana caranya? Kak Shaka orang yang ramah bukan? Apa saja yang kalian bicarakan? Dan serentetan pertanyaan introgasi dari Rashel dan kinkaa kepadaku.

Aku tidak menjawab dan hanya menunjukkan buku kak Shaka yang ada padaku kepada keduanya. Mereka menatap ku penasaran.

Sebelum mereka bertanya lebih lanjut aku menunjuk ke depan ketika melihat guru Biologi mulai memasuki kelas. Mereka terpaksa kembali ke kursinya masing-masing dengan tatapan kecewa. Aku tersenyum memandang kedua teman ku itu yang masih menatap ku dengan ekspresi penasaran.

Sudah dapat di pastikan mereka akan melanjutkan introgasinya setelah pembelajaran berakhir.

**

Hari Minggu yang biasanya hari di mana aku hanya akan Bermalas-malasan di kamar sambil membaca Novel atau mendengarkan musik, namun sekarang aku harus mengikuti ibu mengantar pesanan brownies nya.

Setelah pindah ibu beralih membuka usaha brownies karena dirasa usaha salon yang sebelumnya ibu geluti tidak akan berkembang di daerah sini. Karena menjamur nya salon-salon besar yang lebih lengkap sementara ibu hanya membuka usaha salon kecil kecilan. Akan kalah bersaing begitu kata ibu.

Bukan untuk membantu tapi aku ikut ibu berniat mengembalikan kan hadiah yang dikirim kan Om Rahman untuk ku sebelumnya. Karena kebetulan Om Rahman memesan brownies ibu.

"Kenapa dikembalikan?" tanya Om Rahman saat aku kembalikan hadiah itu.

"Terima kasih sebelumnya pak, tapi Naya tidak bisa menerima hadiah dari bapak." Ibu menjawab, aku hanya diam membiarkan ibu yang menjelaskan nya.

"Itu terlalu mahal untuk ukuran hadiah perkenalan."

"Oh tidak, jangan salah paham, saya memberi karena saya dengar Naya suka koleksi jam."

"Kami tidak bisa menerimanya. Mohon maaf."

Aku hanya diam, sementara ibu yang menjelaskan. Aku paham betul dengan prinsip ibu, ibu sangat menjunjung tinggi harga diri. Sekalipun kita bukan orang kaya jangan sekalipun meletakkan tangan di bawah begitu nasehat ibu kepada kami.

Meskipun hadiah dari Om Rahman bukan termasuk meletakkan tangan di bawah yang di maksud ibu. Tapi menerima hadiah mewah termasuk melukai harga diri ibu. Bukan kita tidak mampu tapi kita memprioritaskan apa yang kita butuh, lagi-lagi prinsip ibu membungkam protes ku ketika menolak mengembalikan hadiah Om Rahman.

"Baiklah, saya paham. Saya tidak bermaksud.."

"Bapak tidak perlu menjelaskan, kami hanya tidak bisa menerima itu saja." tutup ibu.

Setelah memberikan brownies yang dipesannya dan mengembalikan hadiah nya kami berpamitan kepada Om Rahman.

Aku benar-benar tidak enak dengan Om Rahman, aku yakin beliau pun merasa tidak enak dengan penolakan ibu. Tapi bagaimana lagi ibu tidak pernah tenggang rasa soal harga diri.


ITS LOVE ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang