Bagian 11 • Rania

11.2K 1.2K 12
                                    

***

"Biru, Sabiru." Dia tersenyum sembari mengulurkan telapak tangan kanannya padaku.

"Rania. Rania Atmaja." Aku membalas uluran tangannya dengan senyum paling manis yang bisa aku berikan.

Ayolah, ini pertama kalinya kami berkenalan dan aku harus membangun citra yang baik di depannya.

"Salam kenal, Ra...."

"Salam kenal, Mas." Semua kata-kata di dalam otakku tiba-tiba raib.

Aku sudah lupa kapan terakhir kali jantungku berdetak tidak karuan di samping seseorang. Terakhir kali yang aku ingat, itu adalah saat aku kelas dua SMA, yang berarti sudah lebih dari tiga tahun aku tidak merasakannya lagi. Itu pun terjadi pada orang yang tidak tepat. Pacar terakhir dan paling brengs*k dari yang pernah aku miliki.

Bukannya belum bisa move on seperti Mas Dewa, apa yang terjadi padaku justru sebaliknya. Hubungan yang kujalani terakhir berakhir kurang baik sehingga membuatku banyak berfikir ketika ingin mencoba kembali.

"Sepupunya Dewa?" laki-laki yang kini duduk di sebelahku kembali bersuara.

Menurut Mas Dewa, aku dan dia harus mengobrol dulu untuk membangun chemistry. Dia memberikan waktu selama kurang lebih setengah jam sebelum akhirnya kami harus take video.

"Iya...."
"Mas Biru, temenya?"

Jujur kalimat barusan adalah pertanyaan klise yang tidak pernah aku ajukan kepada orang lain. Pertanyaan basa basi yang jawabannya sudah bisa ditebak, dan diutarakan oleh si penanya sebagai bentuk sopan santun. Dan sangat jelas, itu bukan gaya seorang Rania. Apalagi Rania Atmaja Wijaya.

Aku menghela napas lega. "Mahasiswa tingkat akhir juga, Mas?"

Dia mengangguk. "Iya. Teknik Mesin," jawabnya kemudian.

Aku tersenyum. Aku tidak sebodoh itu untuk mengartikan dua kata terakhir yang barusan dia katakan. Dia memberitahuku jurusan yang diambilnya tanpa ku tanya, yang berarti bahwa dia memang mau mengobrol denganku. Maksudku dalam hal ini, dia tidak merasa keberatan untuk melanjutkan obrolan diantara kami.

Sebagai seorang mahasiswa psikologi, aku terbiasa mengamati sikap dan perilaku orang-orang yang berinteraksi denganku. Dan berdasarkan dari pengalamanku selama ini, dalam beberapa kasus memang orang yang cuek dalam arti 'malas' untuk membangun obrolan bersama orang baru adalah karena memang tidak tertarik untuk melakukannya. Ya, walaupun tidak sedikit kasus juga dipengaruhi oleh kepribadian seorang tersebut.

"Lo gimana?"

"Psikologi. Semester lima." Jawabku padanya.

"Kenal Dio?" tanyanya lagi.

Dio ..Dio... " Aku berusaha mengingat apakah ada orang yang bernama Dio yang aku kenal.

"Ah, Mas Dio?" tanyaku akhirnya.

"Secara teknis iya. Dia angkatan gue soalnya."

Aku mengangguk. "Tau, Mas. Kebetulan dulu pernah ada di kepanitiaan yang sama."

"Susah nggak jadi mahasiswa psikologi?" dia  tiba-tiba melontarkan satu pertanyaan yang tidak kuduga.

Aku tertawa. "Masih susah jadi anak teknik sih kayaknya."

"Kata siapa, Ra?" balasnya kemudian.

"Kata gue, Mas, barusan."

"Emang tau gimana rasanya jadi anak teknik?"

Aku menggeleng. "Enggak sih."
"Cuma gue nggak bisa aja kalo soal angka-angka. Jadi yaa gitu..."

"Kan nggak semua soal teknik itu angka-angka, Ra..."

JejaringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang