Bagian 28 • Rania

7.8K 885 15
                                    

Yuk komen!

Selamat membaca ....

***

Aku tidak pernah menyangka jika di situasi dunia yang sedang sulit ini, aku justru mendapatkan hal yang bahkan tidak bisa aku dapatkan ketika tidak ada kata new normal yang dikenal oleh penduduk bumi.

Aku masih tidak menyangka jika ternyata aku, manusia yang berencana tidak akan mencari pacar di situasi pandemi justru sekarang sudah mendapatkannya, dengan bonus tampang yang tidak bisa dikatakan biasa.

Ya ampun, Ra. Lo beruntung banget!

Kalimat yang diutarakan Nana saat aku bercerita padanya via telpon WhatsApp tadi malam perihal kejadian hari kemaren. Seratus persen aku menyetujui jika aku memang seberuntung itu mendapatkan Mas Biru. Bagaimana bisa rasa tertarik yang hanya di mulai dari sebuah tontonan video, hanya dalam waktu beberapa bulan saja sudah berkembang dan menjadi cinta dua pihak yang berakhir dengan sebuah hubungan yang dinamakan pacaran? tentu saja aku rasa tidak ada kisah cinta lain yang semudah dan semulus yang aku rasakan saat ini.

Banyak-banyak bersyukur, Ra.
Ucapku pada diri sendiri.

"Selesai..."

Aku mengatakan pada diriku sendiri saat barusaja mengaplikasikan wardah velvet mate pada bibirku. Polesan terakhir yang aku berikan pada wajahku sebelum nantinya akan di tutup masker ketika memutuskan untuk keluar.

Ya, merias wajah memang penting. Apalagi untuk pertemuan pertamaku dengan Mas Biru dalam situasi hubungan kami yang sudah berubah. Meski nantinya akan tertutupi oleh masker, tetap saja ada situasi-situasi tertentu yang mengharuskan ku membuka masker dan menunjukkan wajah di depannya. So, aku juga harus  tetap terlihat cantik untuk situasi- situasi langka semacam itu.

Aku merapikan sedikit tatanan rambutku. Lalu mengambil sebuah masker dari atas meja dan kembali menuju depan kaca untuk bercermin dan memastikan jika penampilanku  sudah benar-benar sempurna.

Barusaja memasukan hand sanitizer ke dalam tas yang akan aku bawa, suara notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel yang aku biarkan tergeletak di atas meja.

"Mas Biru kayaknya udah nyampe," Tanpa melihat siapa nama pengirimnya, aku sudah cukup yakin jika itu adalah pesan dari Mas Biru yang memberitahuku bahwa dia sudah sampai dan menunggu di depan gerbang.

Tidak ada orang di rumah ini karena Mas Dewa sedari pagi sudah berpamitan untuk ke studionya. Sementara bunda dan ayah juga belum pulang dari rumah Mbak Jena karena ingin pulang bersama dengan orang tuanya Mas Dewa sekalian esok lusa. Jadi daripada aku menyuruhnya masuk dan tidak ada teman mengobrol ketika menungguku bersiap, aku mengatakan padanya untuk tidak usah turun dan menunggu di depan gerbang saja.

Setelah memastikan semua aman, aku melangkah untuk mengambil hp, lalu berjalan keluar dan menuruni tangga untuk ke lantai bawah. Memastikan mengunci semua pintu, mengambil salah satu sepatu di rak yang terletak di depan, lalu memakainya sebelum akhirnya berjalan ke depan gerbang untuk menemui pacar.

"Sori, Mas. Jadi nunggu lama." Aku meminta maaf saat barusaja memasuki pintu mobilnya.

"Gapapa, Ra. Ini malah cepet banget loh...." Katanya sembari memandangku dan tersenyum.

Entah mengapa aku merasa senyumnya kali ini benar-benar lebih mempesona ketimbang biasanya. Mungkin karena status hubungan kami yang berubah, aku jadi melihatnya lebih subjektif karena sedang di mabuk cinta.

Astaga Rania.
Lo alay banget!

Aku tertawa menyikapi apa yang otakku pikirkan sebelum ini.

"Kenapa, Ra?" Mas Biru bertanya karena mungkin melihatku begitu aneh yang tiba-tiba tersenyum tanpa sebab.

Aku hanya menggeleng. "Aku baru mikirin kalo senyumnya Mas Biru jadi makin manis daripada biasanya."

Gila!
Aku mungkin sudah gila karena memilih jujur tentang apa yang baru saja aku pikirkan.

Pipiku mungkin sudah memerah karena sudah sadar dan merasa sangat malu dengan kalimat terus terang yang aku utarakan. Bagaimana mungkin dengan entengnya mengatakan langsung dihadapannya jika senyumnya terlihat manis?

Ayolah, girl!
Mau di taro di mana muka lo.

"Yang di gombalin aku, tapi kenapa ini yang merah, hm?" Mas Biru tiba-tiba sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku dan memegang pelan pipi kananku.

Oh my mom!
Tolong aku sekarang.

"Napas, Ra." Mas Biru kembali berujar di dekat telingaku, yang justru membuatku lebih sulit bernapas.

Gerakannya yang tidak terduga ini benar-benar membuatku kelabakan. Aku bahkan sampai menahan napas karena terlalu tidak siap menerima apa yang barusan dia lakukan.

Klik!
Tiba-tiba terdengar suara seat belt yang Mas Biru bantu pasangkan. Jadi sedari awal niatnya mencondongkan tubuh adalah untuk membantuku, dan  dengan tidak tau malunya otakku justru berkelana kemana-mana? ya ampun, Raina!

"Makasih, Mas." Mati-matian aku mencoba mengucapkan terima kasih padanya.

Mas Biru hanya tersenyum, lalu mengacak sedikit ujung rambutku dan memundurkan tubuhnya kembali ke tempat duduk di balik kemudi.

"Jangan deg-dengan, Ra." Lanjutnya saat sudah duduk manis di balik kemudinya, yang tentu saja malah membuat pipiku semakin merah karena perbuatannya barusan itu.

JejaringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang