Halo yorobun!
Mohon maaf banget nih baru bisa update
Kemaren dua hari nginep di RS buat nunggu ponakan yang baru lahir sampe belum ada waktu buat nglanjutin kisahnya Biru dan Rara🤭Semoga bagian ini nggak terlalu mengecewakan kalian yang udah nunggu cerita ini ya!
Semangat dan selamat membaca ❤️
Dan jangan lupa juga buat komen biar aku semangat nulisnya 😂Semakin banyak komen yang ke kumpul, semakin cepet aku up bagian berikutnya!
***Apa yang aku alami sekarang ternyata it's not as easy as yang aku pikirkan sebelumnya. Aku yang awalnya berpikir bahwasanya Rania tidak akan marah hingga sebesar ini, hanya bisa menelan ludah dan merasa menyesal karena perbuatan dan kecerobohan ku sendiri. Perbuatan ku yang tidak memilih jujur pada mama, dan juga kecerobohan ku yang meninggalkan ponsel maupun lupa mengirimkan dirrect messenger padanya.
Aku menghela napas berat. Benar-benar merasa hampir gila dibuat olehnya. Telepon dan whatshapku benar-benar diabaikan hingga membuatku kelabakan, bahkan hingga saat aku datang ke rumahnya pun langsung disuruhnya untuk pulang.
Aku sadar betul jika aku sudah berbuat kesalahan karena tidak memberinya kabar sama sekali. Niat awal yang ingin mengirimkan direct messenger padanya juga pupus karena Tante Dita mengajakku mengobrol terus-menerus sehingga aku tidak enak jika menginterupsi hanya untuk bermain ponsel. Dan lebih sial lagi saat aku sudah selesai dengan segala urusan, aku justru melupakan bahwa masih punya kewajiban untuk mengiriminya sebuah pesan.
Aku tidak berharap banyak, tapi tidak juga menduga bahwa reaksinya akan benar-benar membuatku galau berhari-hari. Membuatku tidak bisa berpikir jernih dan menjadi gagal fokus dalam segala kegiatan, termasuk menjadi tidak nyambung saat diajak mengobrol.
Lagi-lagi aku menghela napas. Menyadari bahwa pertanyaan yang menanyakan apakah lebih baik terlalu percaya diri atau terlalu percaya orang lain, nyatanya tidak membutuhkan jawaban. Aku yang terlalu percaya diri bahwa Rania tidak akan marah sebesar ini hanya bisa menyesal, sementara di sisi lain yang mana aku terlalu mempercayai bahwa Rania akan memahami kondisiku juga lagi-lagi juga membuatku menyesal karena terlalu positive vibes seperti ini. That's why untuk pertanyaan yang mencari mana yang lebih baik, diantara keduanya tidak ada yang lebih dibandingkan yang satunya. Aku bisa menyadari jika keduanya sama-sama tidak baik, karena apapun yang terlalu over akan berujung tidak sesuai yang diharapkan.
"Balik aja, Mas. Di sini nggak terima tamu yang belum karantina." Mataku melotot setelah mendengar jawaban Rania dari balik pintu.
Sebelum ini saja aku sudah kaget dengan perbuatannya yang kembali menutup pintu saat menyadari bahwa akulah orang yang bertamu di rumahnya, dan kini lebih terkejut lagi setelah dia memberikan alasan kenapa dia memilih menutup pintu kembali dan tidak menerimaku.
Masih dengan mengetuk pintu, aku berucap. "Aku udah swap, Ra. Negatif!" Tukasku memberitahu bahwa seorang Sabiru sudah tes covid dan dijamin tidak membawa virus membahayakan baginya.
"Selain nggak terima tamu yang belum karantina, pemilik rumah juga nggak terima tamu yang udah punya pacar tapi malah asyik jalan sama orang lain." Lagi-lagi aku merasa kaget, yang kini bahkan disertai dengan mengelus dada.
Sepertinya dia salah paham sesuai tebakanku. Salah paham lumayan banyak yang biasanya menjadi penyebab utama hubungan tokoh utama dalam cerita fiksi berakhir begitu saja, dan kemudian berujung penyesalan diantara keduanya. Untunglah kami berdua hidup dalam dunia nyata.
Dari balik pintunya, aku menghela napas. "Maafin aku, Ra!"
Sungguh aku benar-benar menyesal atas kejadian kemaren. Aku benar-benar merasa bahwa kesalahanku cukup fatal, karena komunikasi dalam sebuah hubungan adalah hal yang sangat serius. Apalagi dengan sifat Rania yang masih sering terlihat mendominasi itu, dia mungkin merasa kesal karena mengira aku melakukan pengabaian.
"Soal apa?" akhirnya setelah sekian lama terdiam, yang tadinya sempat ku pikir bahwa dia sudah tidak ada di balik pintu Rania kembali berujar.
Melontarkan pertanyaan singkat yang sepertinya dia maksudkan untuk memastikan tentang perihal apa yang membuat ku meminta maaf padanya. Dan itu berarti, aku memiliki lebih dari satu kesalahan yang membuatnya menjadi kesal.
Aku tidak langsung menjawab. Berdiam dan mencoba memikirkan tentang kira-kira perbuatan ku yang seperti apa lagi yang berhasil membuatnya kesal seperti itu. Mengabaikan keberadaan ku, yang bahkan sudah ada di depan matanya.
"Soal nemenin Kila jenguk mamanya dan nggak kabarin kamu, Ra." Aku memberitahunya alasan yang paling mungkin dan memiliki probabilitas yang sangat besar menjadi penyebabnya seperti ini.
"Udah?" Rania diseberang kembali melontarkan pertanyaan yang menanyakan apakah jawabanku barusan sudah cukup atau masih akan ditambahkan.
Jujurly aku menjadi semakin bingung. Seingetku aku hanya menemani Kila menjenguk mamanya, dan bahkan sudah berusaha secuek mungkin dalam menyikapinya.
Lalu apalagi yang sekiranya bisa membuatnya kesal sampai seperti ini?
"Maaf karena nggak ngehubungin ataupun bales chat kamu." Akhirnya aku menemukan satu kesalahan lagi setelah menggunakan metode recall tentang apa yang sudah terjadi di hari yang lalu.
Aku menarik kedua sudut bibirku ke samping. Sedikit merasa jumawa karena berhasil menemukan kesalahan lain tanpa harus dipancing Rania, dan mencegahnya semakin marah karena aku yang tidak sadar diri.
Tapi alih-alih senyumku semakin melebar, nyatanya justru menjadi senyuman miris karena sadar bahwa Rania masih kesal akan hal lain selain yang sudah aku sebutkan.
"Sori, Mas. Kamu lebih baik sekarang pulang aja. Karena aku nggak mau ketemu kamu."
Mataku berkedip dua kali. Apa itu barusan? dia mengusir ku yang bahkan belum bisa dikatakan sudah masuk? aku menggeleng tidak percaya.
"Ra, please!" Aku memohon padanya agar setidaknya mau mendengarkan ku meski tidak membukakan pintu.
Aku benar-benar tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian seperti ini dalam dunia nyata. Memohon di halaman rumah seorang Rania karena sebuah kesalahpahaman yang sangat aku tidak inginkan.
Of course aku tidak menyalahkan Rania atas sikapnya yang terkesan
chilldish. Aku sudah mencoba memposisikan diriku sebagai dirinya sehingga bisa menerima perlakuan yang saat ini diberikannya padaku.Hanya saja karena aku memang datang saat orangtuanya tidak ada di rumah, maka tidak ada bala bantuan yang aku terima sehingga harus dengan sabar menghadapi situasi yang tidak memihak ku semacam ini.
"Pulang dulu, Mas." Aku akui sebagai seorang perempuan pendiriannya begitu kuat.
Meski sedari tadi aku sudah menyakinkannya agar mau mendengarkan penjelasan, Rania sama sekali tidak bergeming dan membiarkanku tetap berdiri di depan rumahnya. Benar-benar sebuah perbuatan yang sangat kejam jika itu sampai dilakukan oleh orang lain padaku selain dirinya.
Alih-alih sedikit berhasil meluluhkan hatinya, aku -mungkin malah semakin membuatnya kesal. "Aku minta maaf, Ra." Ucapku sekali lagi.
Rania masih saja diam. Namun beberapa saat kemudian menjawab dengan beberapa kata yang tidak membuatku lega sama sekali. "Aku bakal coba maafin, Mas."
Bakal coba berarti belum tentu di maafin kan, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejaring
ChickLit"Kangen!" Aku melemparkan diriku ke dalam pelukannya. Kurasakan dia terkekeh pelan, lalu mengusap-usap rambut panjang ku yang aku tebak masih menguarkan aroma apel. "Baru keramas ya? Wangi banget!" Balasnya sembari mencium pelan ujung kepalaku. Aku...